O lala, Rempang Eco City Ternyata Belum Punya Amdal
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Lingkungan
Rabu, 04 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Satu persatu cacat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City, di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), terungkap. Belakangan masyarakat sipil menemukan proyek yang telah mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang beberapa waktu lalu itu ternyata belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Hal tersebut diketahui dari beredarnya surat undangan yang dikeluarkan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) perihal kegiatan penyusunan Amdal Kawasan Rempang Eco City, pada 27 September 2023 kemarin. Sementara, aktivitas patok batas dan pengumuman rencana relokasi warga yang tinggal di lokasi PSN sudah mulai sejak awal September lalu, dan membuahkan konflik.
"Bahkan masyarakat Rempang, sampai saat ini belum pernah melihat dokumen Amdal yang akan menggusur tempat tinggal dan pranata sosial masyarakat Rempang," ungkap Boy Even Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Senin (2/10/2023) kemarin.
Even berpendapat penyusunan Amdal mestinya dilakukan melalui proses komunikasi dan konsultasi kepada masyarakat terdampak untuk mendengarkan pendapat dan tanggapan terkait rencana proyek. Alih-alih melakukan konsultasi, lanjut Even, dalam sebuah pertemuan di Kampung Pasir Panjang, 21 September 2023 lalu, Kepala BP Batam Muhammad Rudi justru terus mendesak masyarakat untuk mendaftarkan diri untuk direlokasi.
Hal ini kemudian direspon dengan penolakan oleh warga. Masyarakat, kata Even, mendesak Pemerintah meninjau dan mengkaji kembali rencana proyek investasi Rempang Eco City, terutama dari aspek hak asasi manusia, sosial, lingkungan hidup berkelanjutan.
Sederet dampak negatif Rempang Eco City
Belum adanya Amdal ini tentu saja menjadi catatan. Apalagi pelaksanaan PSN ini diperkirakan akan mengundang sejumlah dampak negatif, baik terhadap masyarakat Rempang, maupun lingkungan.
Even menyebut potensi dampak negatif PSN Rempang Eco City utamanya tentu dirasakan masyarakat. Aktivitas pabrik kaca--yang rencananya juga akan dibangun di Rempang Eco City--akan berdampak pada daya dukung dan daya tampung Rempang. "Sebagai pulau kecil tidak sepatutnya Rempang dibebani aktivitas perizinan besar seperti pabrik kaca dan beragam proyek lain dalam cakupan Rempang Eco City," ujarnya.
Kemudian dampak lainnya, Even melanjutkan, pabrik kaca juga berpotensi akan menyebabkan polusi. Mulai dari proses pendirian pabrik hingga operasi produksinya. Even menjelaskan, walaupun kemungkinan aktivitas pabrik kaca itu akan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), namun mengingat kapasitas pabrik yang besar, tidak menutup kemungkinan akan ada power plant captive batu bara, "Karena hal ini dimungkinkan," katanya.
Polusi lainnya juga akan datang dari cemaran industri, limbah buangan proses pembuatan kaca dan solar panel juga berpotensi mencemari tanah dan laut dalam skala besar. Hal ini, kata Even, akan merugikan masyarakat nelayan, khususnya nelayan tradisional. "Mayoritas nelayan tradisional di Kepri melakukan aktivitas tangkap di jarak 1 mil," ujar Even.
Dampak selanjutnya, masih kata Even, bahan baku pabrik kaca akan diambil dari Kabupaten Lingga Kepuluan Riau, sedangkan olah data Walhi menunjukkan bagian barat dan timur Pulau Rempang juga akan dijadikan lokasi tambang. Hal ini menegaskan, bukan hanya nelayan Rempang yang bakal terancam, tapi hampir seluruh nelayan di Kepri berpotensi terdampak rencana pabrik kaca.
Even menambahkan, PSN ini juga akan mengancam eksistensi sejarah Melayu Tua. Pembangunan pabrik, kata Even, akan memisahkan masyarakat dengan tanah leluhurnya. Sementara itu, rencana pembangunan museum sebagai ganti penggusuran kampung, menurut Even, hanya akan menjadikan pengingat lokasi tersebut pernah dikuasai Melayu Tua Galang, "Tapi tetap memisah identitas mereka dengan tanah adatnya," ucap Even.
Even berpendapat, PSN ini hanya akan menguntungkan oligarki dan memaksa secara perlahan nelayan dan orang Melayu menjadi buruh pabrik. Kerusakan lingkungan dan dampak sosialnya, menurut Even, merupakan suatu hal yang tidak dapat dievaluasi dengan sejumlah uang.
"Karena hal ini terkait identitas Melayu, yang kaya hanya orang-orang yang diberi kesempatan menjadi pengusaha atau kontraktor bisnis ini, tapi bukan Melayu Galang secara keseluruhan," ujarnya. Even menambahkan, PSN Rempang ini mencederai konstitusi, mengingkari keberadaan masyarakat adat dan janji Presiden Jokowi mensertifikasi tanah adat Kampung Tua.
Terakhir, Even menyebut Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, tidak peduli dengan keberadaan 16 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang, dan hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang. "Jangan pernah memposisikan itu. Sejarah dan peradaban lahirnya Indonesia lebih berharga dibanding investasi,” katanya.
SHARE