Warga Minta Perluasan Geothermal Ulumbu ke Poco Leok Dihentikan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 11 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi oleh pemerintah pusat pada Juni 2017 lalu, dinilai telah mengabaikan sepenuhnya keselamatan warga dan alam. Warga Poco Leok menyatakan sejumlah desakan, yang intinya meminta agar proyek geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Poco Leok dihentikan. 

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh Jamil, mengatakan penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 itu, juga dianggap mencerminkan watak dan lakon kekuasaan yang tamak dan otoriter, menjadikan ruang hidup warga sebagai komoditas belaka, berikut mengabaikan risiko-risiko yang ditimbulkan dalam seluruh rangkaian proses penambangan panas bumi.

Klaim pemerintah bahwa panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi yang “ramah lingkungan” dan “rendah karbon”, menurut Jamil, tak sepenuhnya benar. Jamil berpendapat, pemerintah mencoba membesar-besarkan panas bumi sebagai mitigasi rendah karbon atas sumber utama pemanasan bumi penyebab perubahan iklim yaitu pembakaran bahan-bakar fosil. 

Dalam praktiknya, lanjut Jamil, penambangan panas bumi untuk membangkitkan listrik  juga membangkitkan sumber-sumber bencana baru dan berkelanjutan. Bahkan, rendahnya emisi karbon dari industri tambang panas bumi juga disertai dengan mengorbankan bukan saja manusia, tetapi juga  hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan pulau, yang semuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi-karbonnya.

Aksi damai penolakan proyek pengembangan geothermal ke wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), di depan Kantor PLN, Rabu (8/8/2023 kemarin. Foto: Jatam.

Perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok

Jamil menguraikan, PLTP Ulumbu terletak di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, beroperasi berdasarkan SK Dirjen Mineral dan Batu Bara Nomor 3042/23/DJB/2009 tertanggal 28 Oktober 2009. PLTP Ulumbu diresmikan pada November 2011 lalu, dan mulai beroperasi sejak Januari 2012.

Bernaung di bawah PT PLN (Persero), PLTP Ulumbu beroperasi di lahan seluas 18.280 hektare. Terdapat empat pembangkit yang beroperasi, masing-masing berkapasitas 2,5 MW. Lahan-lahan yang digunakan PLTP Ulumbu sebelumnya digunakan warga untuk menanam berbagai tanaman pertanian dan perkebunan, mulai dari padi, jagung, umbi-umbian.

Setelah dua puluh tahun beroperasi, warga di sekitar PLTP Ulumbu mengeluh kesehatannya terganggu, terutama terkait penyakit ISPA. Selain itu, tanaman pertanian dan perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, hingga kemiri tak lagi produktif. 

"Demikian juga dengan atap seng rumah dan sekolah yang karatan akibat terpapar H2S yang korosif. Selain itu, warga juga mengeluh sumber air yang tercemar, diduga akibat operasi tambang panas bumi Ulumbu," ucap Tino, warga Poco Leok.

Di tengah keluhan warga yang selalu diabaikan tersebut, pemerintah justru tengah memperluas wilayah pengeboran PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok. Wilayah ini merupakan daerah pegunungan yang berjarak sekitar 3 kilometer ke arah timur. Perluasan proyek panas bumi ini juga berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai Heribertus G.L Nabit.

Merujuk SK ini, wilayah sasaran perluasan operasi panas bumi itu mencakup 13 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Di tiga desa ini, terdapat sekitar 3000 jiwa penduduk, mayoritas di antaranya bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, juga peternakan.

Perluasan wilayah operasi ini diklaim sebagai upaya menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 10 MW, kapasitas saat ini, menjadi 40 MW. Adapun lokasi pengeboran ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung warga.

Proyek perluasan wilayah operasi ke Poco Leok ini juga telah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero).

Alasan Penolakan

Tino bilang, sedari awal, warga Poco Leok yang mayoritas perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian/perkebunan--sebagiannya juga mengandalkan pendapatan dari menyadap aren, memandang tanah Poco Leok sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Tanah adalah rahim dan ruang hidup, dan karenanya wajib dijaga hingga ke generasi berikutnya. 

Tanah Poco Leok yang penuh dengan tanaman kopi dan cengkeh, adalah tulang punggung perekonomian keluarga, hingga berhasil menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi. Menjual lahan kepada perusahaan akan berdampak pada kehilangan ruang  pangan dan pekerjaan, hingga pada akhirnya menimbulkan kemiskinan dan alih profesi.

Operasi tambang panas bumi yang dekat dengan sumber mata air warga juga menjadi ancaman serius. Lokasi wellpad G, misalnya, hanya berjarak sekitar 100 meter dari Wae Nobak dan Wae Lapang, juga tak terlalu jauh dari Wae Sower, Wae Kilo Manuk, Wae Lanteng, dan Wae Ruka. Seluruh sumber mata air itu vital bagi warga, dimanfaatkan untuk konsumsi domestik rumah tangga, ternak, dan lahan pertanian/perkebunan. 

"Tambang panas bumi yang rakus air dan potensi panas yang berada di perut bumi dipaksa keluar dengan menyemburkan air dan zat kimia, berakibat pada pencemaran akibat larutan hidrotermal yang mengandung kontaminan seperti arsenik, antimon, dan boron. Zat-zat kimia tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem," imbuh Jamil.

Topografi Poco Leok yang terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan lembah juga sangat berisiko jika tambang panas bumi dipaksakan. Sistem tambang panas bumi--ekstraksi panas (dalam bentuk gas) pada kedalaman yang relatif dangkal dari sumur ekstraksi, dimana air ditarik secara terus menerus menyebabkan kepadatan tanah berkurang. 

Di sisi lain, thermal pollution karena panas yang diekstrak keluar dapat  menyebabkan sekeliling lokasi menjadi kering. Ketika struktur tanah menjadi tidak stabil, apalagi topografi Poco Leok yang rawan longsor, dengan kemiringan yang ekstrem, maka potensi terjadinya bencana longsor pada musim hujan semakin besar.

Ancaman ini diperparah jika pemanfaatan panas bumi menggunakan metode hydraulic fracturing (fracking). Fracking merupakan teknik stimulasi sumur yang mana lapisan batuan di bawah diretakkan menggunakan fluida cair bertekanan tinggi. Penambangan energi dengan menggunakan fracking dapat menyebabkan gempa bumi minor, pencemaran air, thermal pollution, dan juga amblesan.

Penambangan panas bumi juga mengancam kesehatan warga. Hydrogen sulfide atau H2S adalah gas beracun di panas bumi yang tidak berwarna, lebih berat daripada udara, dengan bau khas “telur busuk”. Dalam konsentrasi rendah, H2S berdampak pada iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan sistem pernapasan. 

"Bahkan, dalam paparan dengan konsentrasi tinggi bisa menyebabkan syok, kejang, tidak bisa bernapas, koma, dan akhirnya kematian. Efek lethal tersebut bisa dalam beberapa hirupan ataupun hanya dalam 1 hirupan," ungkap Jamil.

H2S juga berpengaruh pada peralatan logam karena H2S bersifat korosif. Rencana penambangan panas bumi di Poco Leok yang meliputi 60 titik, serta berada di dekat rumah-rumah warga akan berdampak pada atap seng rumah, sekolah, dan fasilitas publik lainnya karatan.

Upaya Paksa

Di tengah meluasnya gelombang penolakan warga atas perluasan penambangan panas bumi ke Poco Leok ini, pemerintah dan PT PLN justru terus berupaya paksa mempercepat proses perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok. 

Upaya paksa yang dilakukan secara berulang itu dalam rangka untuk melakukan survey topografy access road atau survei topografi akses jalan untuk memobilisasi kendaraan proyek hingga pematokan tanah ulayat (lingko) untuk disertifikasi, lalu kemudian dibebaskan untuk lokasi tambang panas bumi.

Rentetan upaya paksa percepatan proses perluasan wilayah operasi PLTP Ulumbu tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin warga adat selaku pemilik ulayat. Namun, pendekatan keamanan yang represif melalui keterlibatan Polisi, TNI, dan Satpol PP justru memicu eskalasi konflik di Poco Leok. Alhasil, sebagian warga penolak mendapat tindak kekerasan fisik dan intimidasi, hingga sebagiannya dilarikan ke fasilitas kesehatan (Puskesmas) setempat. 

"Represi aparat keamanan itu salah satunya terjadi pada 20 Juni 2023, ketika PT PLN dan BPN/ATR Manggarai hendak mematok lahan/tanah warga. Warga penolak yang terdiri atas empat orang perempuan dan lima orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan. Seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh Polisi," ungkap Jamil.

Tak berhenti di situ, pemerintah dan aparat keamanan juga diduga membangun konflik sosial di tengah tengah warga, salah satunya dengan memobilisasi sekelompok warga yang mengaku “mendukung geothermal” untuk mengadakan aksi damai dan deklarasi dukung proyek geothermal pada 19 Juni 2023 lalu. Warga yang pro ini, mayoritas didatangkan dari luar wilayah Poco Leok, seperti Wae Koe, Golohado, dan Satarmese Barat.

Saverius, dari Serikat Pemuda NTT, mengatakan, berangkat dari situasi tersebut, berikut upaya paksa pemerintah dan PT PLN yang tak kunjung berhenti, pihaknya mendesak Menteri ESDM untuk mengevaluasi dan mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Sekaligus segera menghentikan seluruh proses rencana perluasan PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok.

Kemudian, mendesak Bupati Manggarai untuk mencabut SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok, dan segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan seluruh proses survei dan pematokan lahan untuk perluasan proyek panas bumi Ulumbu ke Poco Leok oleh Dinas ATR/BPN Manggarai.

"Mendesak Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), untuk segera mengevaluasi dan menghentikan pendanaan transisi energi di Indonesia, baik untuk keseluruhan proyek geothermal di pulau Flores, maupun secara khusus untuk perluasan proyek tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok," ujar Saverius.

Bukan itu saja, Saverius juga mendesak PT PLN (Persero) untuk menghentikan seluruh proses perluasan wilayah operasi tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok, dan mendesak Plt. Gubernur NTT, DPRD Provinsi NTT, DPRD Kabupaten Manggarai untuk segera menyurati Menteri ESDM, PT PLN, Kapolri, dan Bupati Manggarai agar seluruh proses rencana perluasan operasi tambang panas bumi Ulumbu ke Poco Leok dihentikan, sekaligus mendesak aparat keamanan untuk hentikan tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga Poco Leok.

Penjelasan PLN

Terpisah, dimintai tanggapannya soal konflik agraria yang muncul akibat proyek geothermal, pihak PLN menyampaikan, dalam melangsungkan proses pembebasan lahan telah melalui sejumlah tahapan yang sesuai dengan Peraturan menteri (PerMen) ATR/BPN No.19 tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

"Pada tahun 2022, lewat proses perencanaan yang matang, PT PLN (Persero) telah menyusun dan menerbitkan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yang diajukan ke pemerintah daerah (Pemda) sebagai instansi yang melakukan persiapan pengadaan tanah," kata Dede Mairizal, Senior Manager Perizinan, Pertanahan dan Komunikasi PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara, dalam pernyataan tertulis yang diterima Betahita, Rabu (9/8/2023) kemarin.

Selanjutnya, pada tahapan persiapan, Dede menyebut telah menghasilkan produk berupa penetapan lokasi (Penlok) yang telah melalui beberapa proses sesuai dengan Permen yang berlaku. Tahap persiapan pengadaan tanah ini dilakukan oleh Tim Persiapan Pengadaan Tanah Pemprov atau didelegasikan ke Pemda setempat.

Dengan produk yang dikeluarkan adalah SK Penetapan Lokasi dari Pemerintah Kabupaten Manggarai, melalui Keputusan Bupati Manggarai Nomor: HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi (Penlok) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 Poco Leok. 

Berbekal penetapan lokasi itu, kemudian dilakukan tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sesuai dengan Permen ATR/BPN Pasal 81. Dalam tahap ini kegiatan yang sudah dilakukan di antaranya, penyusunan tim yang terdiri dari BPN dan Pemda, tim pelaksana dan tim pendamping yang terdiri dari forkopimda, tim satgas A, dan tim satgas B dari BPN. Selanjutnya disiapkan kegiatan sosialisasi di Hotel Revayah 14 Juni 2023.

"Di dalam Penlok terdapat persetujuan bahwa pemilik lahan telah sepakat (kesepakatan lahan) dengan lokasi rencana pembangunan yang ditandatangani tokoh adat, masyarakat, pemliik lahan, dan perangkat pemerintah setempat," terang Dede.

Menurut Dede, tanah yang digunakan dalam proyek pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 di Poco Leok adalah tanah milik pribadi sesuai dengan dokumen yang ada dengan bukti kepemilikan sesuai dengan surat keterangan pemilik lahan yang disahkan oleh pihak desa. Lahan untuk lokasi wellpad D, E, F, dan G, status tanahnya adalah kepemilikan pribadi sesuai dengan Surat Keterangan Status Kepemilikan. Surat diketahui oleh Tua Gendang, Pemilik Lahan, dan Kepala Desa.

Dede melanjutkan, proses transisi energi yang dijalankan PT PLN saat ini dengan mengembangkan pemanfaatan potensi panas bumi Ulumbu yang ada di Kabupaten Manggarai. Proyek ini, katanya, sejalan dengan road map percepatan bauran energi terbarukan sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional serta penurunan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

"Pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 di Poco Leok juga merupakan upaya pemerintah dalam menggapai Net-Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Kemandirian energi di Kabupaten Manggarai sangat bergantung pada operasi PLTP Ulumbu dan PLTMH Waigarit," imbuh Dede.

Dede menerangkan, PLTP Ulumbu Unit 1-4 (eksisting) mensuplai kebutuhan energi listrik di Manggarai sebesar 50 persen (6,5 MW dari total 13,06 MW; beban/kebutuhan listrik yang tercatat di Gardu Induk Ruteng-11,76 MW dan Gardu Induk Ulumbu-1,3 MW). Kemudian, 50 persen sisa kebutuhan energi listrik Manggarai disuplai dari sistem kelistrikan Flores, yaitu terutama dari PLTMG Rangko (20 MW) di Labuan Bajo dan/atau PLTMG Maumere (40 MW).

Sebelum PLTP beroperasi, masih kata Dede, sistem kelistrikan di Kabupaten Manggarai masih disuplai oleh PLTD. Seiring beroperasinya PLTP di 2012, maka bauran energi baru terbarukan di sistem isolated Manggarai meningkat cukup signifikan. 

Dede menuturkan, pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 ditargetkan untuk Ulumbu unit 5 20 MW rampung pada 2025, dan Ulumbu unit 6 20 MW pada 2027 sesuai dengan Kepmen Nomor: 188.K/HK.02/MEM.L/2021.

"Saat ini, rasio elektrifikasi Flores sebesar 96,11 persen. Sementara, di wilayah Manggarai, rasio elektrifikasi sudah menyentuh angka 99,99 persen," katanya.

Soal pelibatan aparat keamanan dan kepolisian dalam tiap kegiatan pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 di Poco Leok, Dede menjelaskan, sudah sesuai dengan peraturan mengenai PSN dan sifatnya sebagai tim pendamping dan tidak melakukan atau ditemukan pihak terkait bertindak represif kepada masyarakat.

Dede melanjutkan, keterlibatan aparat keamanan dan polisi termasuk tim pendamping yang bertugas untuk mendukung pelaksanaan pengadaan tanah dalam hal bidang ketentuan peraturan perundangan-undangan,  keharmonisan, keselarasan, keamanan dan ketertiban dalam kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah PLTP Ulumbu. 

"Sesuai dengan kondisi lapangan, tidak terjadi aksi atau tindak kekerasan yang dilakukan pihak keamanan dan pihak kepolisian. Beberapa pihak yang terlibat memang mengalami kelelahan dan belum sarapan pada saat melakukan kegiatan penghadangan dan demonstrasi terhadap tim BPN (tim pelaksana pengadaan tanah)," jelas Dede.

Soal isu lingkungan yang muncul dalam proyek geothermal, Dede mengatakan, berdasarkan kondisi lapangan yang tampak, daerah panas bumi yang berdekatan dengan manifes fumarol masih digarap warga setempat untuk berkebun dan sawah padi. Selain itu, masyarakat yang berdekatan dengan PLTP banyak menanam pohon produksi kemiri dan produksinya sama dengan lokasi lain (tidak ada pengurangan).

"Dari hasil penelitian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri - Institut Teknologi Bandung (LAPI-ITB) terhadap udara, air, kebisingan, dan getaran, PLTP Ulumbu 4x2,5 MW yang sudah beroperasi sejak 2012 hingga saat ini tidak menimbulkan dampak lingkungan," katanya.

Dede mengklaim, kondisi air bersih di daerah setempat pada semua parameter fisika, kimia, mikrobiologi, sangat baik yaitu sangat memenuhi baku mutu sesuai peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017. Kondisi udara juga untuk laboratorium udara yang dilakukan menunjukkan bahwa daerah sekitar memenuhi baku mutu untuk seluruh parameter SO2, CO, NO2, O3, TSP, PB, HC, Amoniak, H2S. Sesuai dengan PP 22 Tahun 2021. 

Khusus untuk tingkat kandungan H2S di udara ambien di PLTP Ulumbu dan sekitarnya, kata Dede, berada pada kisaran 0,001 ppm sampai 0,013 ppm. Pada konsentrasi tingkat tersebut H2S tidak berdampak negatif pada kesehatan. Namun demikian, masyarakat tetap mencium aroma kurang sedap. Pekerja di PLTP Ulumbu dan masyarakat perlu waspada jika konsentrasi H2S lebih dari 2 ppm. 

"Selain daripada itu, H2S dapat mempercepat korosi pada material logam, salah satunya atap rumah, dan ini terjadi secara alami pada daerah panas bumi yang mengeluarkan H2S ke udara. Maka, langkah yang bisa dilakukan adalah mengganti material atap rumah dengan material yang tahan terhadap H2S atau melakukan pengecatan/pelapisan pada atap rumah," ujar Dede.

Dede melanjutkan, terkait kesuburan tanah, pada lokasi daerah panas bumi, masyarakat masih dapat mengusahakan lahan di sekitar panas bumi dan tidak terlihat dampak signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lahan sawah dan perkebunan di daerah terdekat dengan PLTP Ulumbu 4x2,5 MW dapat berbuah dan dipanen oleh masyarakat. 

"Berdasarkan wawancara terhadap 30 responden petani, menunjukkan bahwa petani di sekitar PLTP Ulumbu tidak pernah melakukan pemupukan, melainkan mengandalkan dari proses dekomposisi. Hal ini menyebabkan minimnya ketersediaan unsur hara N, P, dan K sehingga mempengaruhi kesuburan tanah yang berdampak pada hasil panen masyarakat," ujarnya.

Sehubungan dengan kesehatan masyarakat, sesuai data yang diperoleh dari dua puskesmas, Ponggeok dan Iteng, pada 2021, penyakit tertinggi adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Puskesmas Ponggeok terdapat 120 pasien ISPA, sedangkan di Iteng ada 825 pasien ISPA. Namun, penyakit ISPA juga terjadi di luar daerah PLTP, misalnya, di Kabupaten Timor, Tengah, Selatan NTT. Penyakit ISPA merupakan penyakit tertinggi di kabupaten tersebut.

Di Kota Bima, NTB. Tahun 2017, ISPA menduduki posisi pertama sebagai penyakit yang banyak diderita masyarakat. Di Surabaya dan Bekasi pun demikian. Laporan terkait isu lingkungan ini, lanjut Dede, mengacu pada Laporan Akhir Tahun 2022 - Kajian Lingkungan Kegiatan PLTP Ulumbu Unit 1-4 terhadap Lingkungan Fisik, Biologi, dan Sosial Masyarakat.

SHARE