KPPII: Pelanggaran HAM Proyek KEK Mandalika Terus Terjadi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
HAM
Jumat, 05 Mei 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih menyisakan persoalan sengketa lahan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga dampak negatif sosio-ekonomi terhadap masyarakat sekitar lokasi pembangunan proyek.
Hal tersebut berdasarkan hasil survei yang Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) terhadap 105 masyarakat terdampak proyek yang dilakukan sepanjang Desember 2022 hingga Januari 2023 lalu.
Hasil survei tersebut dimuat dalam laporan berjudul “Dampak-dampak Hak Asasi Manusia dan Sosio-ekonomi dari Proyek Pembangunan Infrastruktur Urban dan Pariwisata Mandalika: Kalau Merugikan Masyarakat Lokal, Buat Apa Pembangunan?", yang dirilis pada 10 April 2023 lalu.
Seperti diketahui, megaproyek Mandalika yang terletak di Pulau Lombok ini mencakup taman, resort, hotel, hingga Sirkuit Internasional Mandalika--arena balap sepeda motor yang menyelenggarakan acara olahraga internasional seperti MotoGP dan World Superbike. Proyek ini dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia Tourism and Development Corporation (ITDC) dan didanai oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Proyek ini masuk dalam program strategis nasional dan juga bagian strategi “10 Bali Baru” yang dicanangkan pemerintah.
Peneliti KPPI Sayyidatiihayaa Afra menjelaskan, berdasarkan pemantauan koalisi secara berkelanjutan selama lebih dari empat tahun, laporan survei KPPII mengungkapkan kenyataan yang suram. Sebagian besar warga yang terkena dampak proyek tidak dimintai pendapatnya mengenai proyek Mandalika. Meskipun mereka adalah bagian masyarakat adat Sasak, 98% responden survei tidak dimintai persetujuan.
“Jadi jangankan konsultasi bermakna, konsultasi itu sendiri tidak dilakukan. Hal ini jelas-jelas adalah pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional dan standar perlindungan yang digunakan oleh bank pembangunan multilateral ketika mendanai proyek-proyek berisiko tinggi,” kata Afra, dalam sebuah keterangan pers.
Survei terhadap responden yang sama, juga menemukan pola intimidasi sistematis yang dilakukan aparat keamanan Indonesia dan aktor negara di Mandalika. 70% responden mengatakan bahwa mereka merasa dipaksa selama proses pembebasan lahan.
Lebih lanjut, 84% responden terdampak dari pengerahan aparat keamanan Indonesia yang berlebihan selama acara balap motor internasional di sirkuit Mandalika, termasuk pembatasan gerak yang ketat, penahanan orang-orang yang mengkritik kekerasan militer, dan memaksa masuk ke rumah-rumah warga untuk menyerahkan tanah mereka.
Intimidasi terhadap masyarakat lokal terus diabaikan oleh AIIB, yang membiarkan kliennya, Badan Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), serta pemerintah Indonesia, melakukan pelanggaran tanpa pertanggungjawaban.
AIIB dalam hal ini lalai melakukan uji tuntas yang diperlukan untuk menghindari, meminimalkan, atau mengurangi risiko penggusuran paksa terhadap masyarakat adat yang terdampak.
Sejak persetujuan proyek, AIIB belum melakukan pemantauan yang cukup dan mendesak ITDC untuk mematuhi standar perlindungan lingkungan dan social Bank yang menyebabkan dampak bagi Masyarakat Adat Sasak.
“Untuk itu, KPPII mengimbau para pemegang saham AIIB untuk mendesak bank melakukan investigasi independen atas proyek Mandalika dengan melibatkan para ahli hak asasi manusia yang dipilih melalui konsultasi dan disetujui oleh OMS dan masyarakat yang terdampak proyek. Sangat penting bagi AIIB dan ITDC untuk bertanggung jawab atas kejadian intimidasi dan pembalasan terhadap masyarakat yang terdampak proyek ini,” kata Muhammad al-Amin, Koordinator KPPII.
Data kuantitatif maupun kesaksian juga menunjukkan, masyarakat yang terkena dampak proyek terus bergumul dengan dampak sosial-ekonomi yang parah dari proyek pembangunan yang dipaksakan berjalan tanpa persetujuan mereka. 79% responden mengatakan pernah mengalami kesulitan keuangan akibat proyek Mandalika.
Hilangnya tanah, akses ke laut, dan sumber daya alam telah menyebabkan masyarakat terdampak proyek terjebak dalam jeratan utang demi memberi makan keluarga dan anak-anak mereka yang putus sekolah. Dampak berlapis pun secara khusus dialami perempuan.
Harry Sandy Ame, peneliti dari LSBH NTB, mengatakan, akar penyebab intimidasi, pemiskinan dan pencabutan hak masyarakat di Mandalika adalah pola pembebasan lahan yang tidak transparan dan koersif. Pada 2018, masih kata Harry, ITDC mengklaim 92,7% lahan di kawasan Mandalika sudah ‘clean and clear’ dari segala sengketa atau konflik lahan. Pernyataan ini, menurutnya, bermasalah dan tidak akurat.
"Walaupun terjadi dampak yang parah dari sengketa tanah terhadap masyarakat adat Sasak, AIIB dan ITDC terus menahan dokumentasi proyek utama. Tanpa transparansi, konflik tanah di Mandalika tidak akan dapat diselesaikan dengan baik. AIIB harus segera mengeluarkan auditnya sendiri atas survei tanah ITDC," katanya.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menambahkan, keluarga yang dipindahkan secara paksa harus dipastikan mendapat kompensasi dan pemulihan atas tanah, rumah, dan mata pencaharian yang hilang akibat proyek Mandalika, serta dampak negatif yang dihadapi.
"Karena pemukimkan kembali secara tidak sukarela dengan cara yang melanggar Prinsip Dasar dan Panduan tentang Penggusuran dan Pemindahan Berbasis Pembangunan (Basic Principles and Guidelines on Development – Based Eviction and Displacement) OHCHR," kata Andi.
Koalisi selanjutnya mendesak AIIB untuk menangguhkan pembiayaan proyek Mandalika, setidaknya hingga beberapa kondisi berikut terpenuhi:
- ITDC dan Pemerintah Indonesia mengeluarkan unsur-unsur aparat keamanan negara termasuk militer, polisi dan intelijen dari proses pembebasan tanah, pelaksanaan proyek, atau penyelesaian sengketa tanah di masa mendatang.
- Semua masalah pembebasan tanah diselesaikan secara memadai dengan memberikan kompensasi yang memadai yang mencerminkan nilai pasar dari tanah dan properti yang hilang, serta hilangnya pendapatan dari tanaman dan sumber daya alam. Perhatian khusus harus diberikan kepada rumah tangga yang dipaksa menyerahkan tanah mereka di bawah nilai pasar dan dipindahkan secara paksa, dan yang saat ini benar-benar berada di luar dari proses penyelesaian sengketa tanah yang sedang berlangsung yang dipimpin oleh pemerintah Indonesia, meskipun ada dampak negatif yang menghancurkan dari proyek Mandalika pada kehidupan dan penghidupan mereka.
- ITDC dan Pemerintah Indonesia telah memberikan pemulihan bagi penduduk yang terkena dampak negatif sosial-ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan kasus Mandalika.
- ITDC dan Pemerintah Indonesia telah secara efektif menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pemukiman kembali secara paksa.
Komnas HAM Sudah Curigai Pelanggaran HAM Mandalika
Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Prabowo mengatakan, pihaknya sejak awal mengakui adanya dugaan pelanggaran HAM dalam pembangunan proyek Mandalika.
“Posisi Komnas HAM sudah jelas bahwa sejak awal kami mencurigai adanya pelanggaran HAM dalam kasus Mandalika ini,” ujarnya.
Komnas HAM, lanjut Mukti, pada 2020 lalu telah mengeluarkan rekomendasi dalam menanggapi kasus ini. Saat itu pengaduan yang masuk meminta perlindungan hukum atas berbagai intimidasi yang terjadi.
Maka pada saat itu Komnas mengeluarkan rekomendasi yang salah satunya meminta pemerintah dan ITDC untuk menjamin solusi alternatif yang sesuai bagi warga yang telah atau akan kehilangan tanahnya, serta menghormati hak-hak warga dan menghindari keterlibatan aparat keamanan.
Saat itu pengerahan aparat sempat berkurang, namun belakangan eskalasinya kembali meningkat, terutama jelang event internasional seperti Moto GP dan WSBK.
“Terus terang ini salah satu kelemahan kami. Rekomendasi Komnas HAM tidak memiliki kekuatan koersif,” kata Prabianto Mukti.
Baik pemerintah maupun korporasi, kata Mukti, memiliki tanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat terdampak proyek.
Hal senada disampaikan Patricia Rinwigati, Direktur Djokosoetono Research Center FH UI. Patricia mengatakan, perbaikan tata kelola dan akuntabilitas investor merupakan kunci untuk mencegah pelanggaran HAM terus berlanjut di masa depan.
Dia mengingatkan, pembangunan KEK Mandalika tidak berhenti di sirkuit saja, masih banyak ruang yang harus dibangun untuk pengembangan mega proyek tersebut hingga 2040 mendatang. Tanpa tindakan tegas, lanjut Patricia, proyek Mandalika akan menjadi preseden buruk bagi proyek lain yang didanai AIIB di Indonesia, di Asia Tenggara, dan di seluruh dunia.
Bulan lalu, para pakar dan special rapporteurs PBB telah merilis komunikasi ketiga tentang proyek Mandalika kepada AIIB, ITDC, pemerintah Indonesia, dan perusahaan-perusahaan terafiliasi. Ini adalah suatu rekor untuk sebuah proyek besar yang didanai oleh bank pembangunan multilateral.
“Terlepas dari tingkat keterlibatan PBB yang belum pernah terjadi sebelumnya, AIIB dan ITDC masih belum mengambil tindakan tegas untuk merilis dokumentasi utama proyek, mengatasi akar penyebab pelanggaran hak asasi manusia, dan memberikan pemulihan dan ganti rugi kepada masyarakat adat yang terkena dampak.” ujar Wawa Wang, Direktur Just Finance International.
SHARE