Lebih dari 1.700 Pembela Lingkungan Dibunuh Selama 2012-2021
Penulis : Kennial Laia
HAM
Jumat, 30 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Lebih dari 1.700 aktivitas lingkungan dibunuh selama satu dekade terakhir, menurut sebuah laporan terbaru. Angka tersebut mengungkap bahwa rata-rata pembunuhan terjadi hampir setiap dua hari.
Menurut Global Witness, setidaknya 1.733 pembela lingkungan pada 2012-2021. Brasil, Kolombia, Filipina, Meksiko, dan Honduras menjadi negara paling mematikan buat mereka. Korban dibunuh oleh pembunuh bayaran, kelompok kejahatan terorganisir, dan pemerintah.
Global Witness menerbitkan laporannya tentang pembunuhan pembela lahan dan lingkungan di seluruh dunia setiap tahun sejak 2012. Usai pembunuhan Chut Wutty, seorang pemerhati lingkungan Kamboja yang bekerja dengan CEO Global Witness Mike Davis yang menyelidiki pembalakan liar. Pembunuhan mencapai rekor sebanyak 227 sepanjang 2020 meskipun di tengah pandemi.
“Wutty mendorong kami untuk menghadapi berbagai pertanyaan. Bagaimana gambaran globalnya, apa implikasi dari serangan semacam ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?” tulis Davis laporan tersebut.
Pembunuhan aktivis secara tidak proporsional terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan masyarakat adat. Terdapat 39% korban berasal dari demografi ini, meskipun hanya 5% dari populasi dunia.
Ketika diidentifikasi, industri pertambangan dan ekstraktif, penebangan dan agribisnis merupakan penyebab paling umum dari pembunuhan aktivis ini. Penulis laporan memperingatkan bahwa angka tersebut baru perkiraan yang terlalu rendah dan tidak mencakup skala masalah sebenarnya. Ironisnya, kematian juga sering terjadi di ekosistem yang penting untuk mencegah dampak terburuk dari krisis iklim.
Sebanyak 200 orang yang tewas pada 2021 termasuk delapan penjaga di Taman Nasional Virunga, Republik Demokratik Kongo. Wilayah tersebut menghadapi ancaman tambahan ekstraksi minyak dan gas. Ada pula aktivis lingkungan Joannah Stutchbury, yang ditembak di luar rumahnya di Kenya, dan Angel Miro Cartagena, yang meninggal di Kolombia dan merupakan salah satu dari 50 petani skala kecil yang terbunuh tahun lalu.
Juni tahun lalu, jurnalis Dom Phillips, kontributor untuk Guardian dan The Observer, serta Bruno Pereira, seorang ahli suku-suku tak dikenal di Brasil, dibunuh di lembah Javari di Amazon Brasil setelah sebelumnya dinyatakan hilang. Saat itu Phillips sedang mengerjakan sebuah buku tentang pembangunan berkelanjutan berjudul How to Save the Amazon dan Pereira membantunya melakukan wawancara. Penyelidikan atas pembunuhan mereka masih berlanjut hingga kini.
“Kita tidak hanya dalam keadaan darurat iklim. Kita berada di ujung kepunahan massal keenam, dan para pembela lingkungan ini adalah beberapa dari sedikit orang yang berjuang melawannya. Mereka tak hanya pantas mendapatkan perlindungan karena alasan moral. Masa depan spesies dan planet kita bergantung padanya,” kata Dr Vandana Shiva, yang menulis kata pengantar dalam laporan tersebut.
Meski demikian, laporan tersebut juga mencatat terdapat sejumlah kemenangan signifikan bagi juru kampanye lingkungan. Pada 2021, masyarakat adat dari Wild Coast, Eastern Cope, Afrika Selatan, memenangkan gugatan atas Shell, yang memaksa perusahaan untuk menghentikan eksplorasi minyak di tempat penangkaran ikan paus. Putusan tersebut telah berlaku tahun ini.
Sementara itu di Indonesia, masyarakat di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, memenangkan gugatan terhadap perusahaan yang didukung Kanada pada Mei 2022. Perusahaan berencana menambang emas di pulau tersebut.
“Jumlah pembunuhan tetap tinggi. Tapi satu hal yang saya sadari selama penelitian ini adalah bahwa ada beberapa kemenangan signifikan oleh para pembela lingkungan selama beberapa tahun terakhir, termasuk melawan perusahaan multinasional raksasa,” kata Ali Hines, penulis laporan dan juru kampanye Global Witness.
Lebih dari dua pertiga pembunuhan orang yang berusaha melindungi hutan, sungai, dan ekosistem lainnya antara 2012 dan 2021 terjadi di Amerika Latin. Sebanyak 342 tewas di Brasil dan 322 di Kolombia. Di Meksiko, 154 tewas, dan 117 di Honduras. Filipina adalah negara lain yang menjadi perhatian, dengan 270 pembunuhan.
“Ini adalah masalah global tetapi hampir secara eksklusif terjadi di selatan global,” kata Hines.
“Korupsi dan ketidaksetaraan adalah dua jenis faktor pendukung utama pembunuhan. Misalnya, dalam proses sertifikasi tanah, bisa terjadi kesepakatan investasi antara perusahaan dan pejabat korup. Pembela yang mencoba mencari keadilan terkadang berhadapan dengan hakim yang dibayar dengan suap. Itu mengarah pada faktor ketiga, yaitu tingginya tingkat impunitas. Kasus sangat jarang diselidiki secara kredibel, apalagi pelaku dibawa ke pengadilan.”
Laporan tersebut mendesak pemerintah untuk menciptakan ruang sipil yang aman bagi pembela lingkungan dan mempromosikan akuntabilitas hukum perusahaan, serta membantu memastikan toleransi nol untuk kekerasan terhadap aktivis.
SHARE