Tragedi Harimau Sumatera: Hidup Dijagal, Mati Dijual (4)

Penulis : Harry Siswoyo dan Betty Herlina

World Tiger Day

Kamis, 04 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

(Sambungan dari bagian 3)

BETAHITA.ID - Menjaga harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) agar tetap hidup dan bebas di hutan bukan perkara mudah. Estimasi populasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), yang mencatat jumlah sekira 600 ekor se-Pulau Sumatera, bukan tidak mungkin telah bergeser turun.

Beberapa laporan terbaru menyebutkan kematian harimau masih terjadi saban tahun. Di Aceh, sekeluarga harimau mati terjerat seling. Di Padang, harimau dikepung warga lantaran muncul di permukiman. Di Jambi, harimau yang baru dilepas justru mati lengkap dengan GPS Collar di lehernya, begitupun di Bengkulu, harimau ditemukan sudah tinggal sisa kulitnya, dan beberapa kejadian lainnya.

Sejauh ini, khusus wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), laporan terbaru dari Balai Besar TNKS (BBTNKS) menyebutkan populasi harimau di kawasan yang melingkupi empat provinsi ini—Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Bengkulu—berkisar 80 ekor. “Dari data kami, 40 ekornya dipastikan jantan,” ujar Kepala Bidang III Wilayah Bengkulu-Sumatera Selatan BBTNKS Zainudin.

Barang bukti kulit dan bagian tubuh harimau yang diamankan dari tangan bekas Bupati Bener Meriah Ahmadi dan 2 tersangka lainnya, di Kabupaten Bener Meriah, Aceh./Foto: Balai Pengamanan dan Gakkum Wilayah Sumatera.

Ia tak menampik perburuan atas kucing besar itu masih berlanjut. Ini ditunjukkan dengan ratusan jerat harimau yang masih kerap ditemukan oleh tim patroli setiap tahunnya. “Puncak kasus kematian harimau itu pada 2018. Tapi sekarang, trennya mulai menurun kalau kami lihat,” katanya.

Hutan-hutan yang menjadi rumah harimau, diakui Zainudin, memang rentan sekali dimasuki pemburu. Luasnya kawasan dan jumlah petugas yang tak berimbang membuat habitat harimau mudah sekali terjamah pemburu.

Kemampuan para pemburu yang bisa menembus hutan hingga melampaui batas provinsi membuat mereka bisa banyak menangguk isi hutan. Belum lagi soal perambahan, yang kemudian berujung pada makin sempitnya habitat harimau.

Sementara di lain sisi, kasus-kasus yang selama ini ditangani dan tak jarang mengurung badan para pelaku perburuan harimau, nyatanya tak begitu kuat meredam aksi perburuan. “Tidak serta merta membuat orang jera,” kata Zainudin.

Di Sungai Ipuh, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, kami sempat bersua dengan Azwar Anas (40). Lelaki berbadan ceking ini adalah mantan terpidana kasus perburuan harimau. Dalam kasus kejahatan satwa di Indonesia, pria yang akrab disapa Aan ini sebenarnya adalah pemilik kasus langka.

Ya, Aan adalah orang pertama di Indonesia yang divonis maksimal atau empat tahun kurungan badan atas kejahatan satwa.

Azwar Anas (40), mantan terpidana kasus perburuan harimau sumatera. Ia menjadi orang pertama di Indonesia yang divonis maksimal karena perburuan ilegal, yakni empat tahun penjara. Usai bebas, ia kini lebih banyak menghabiskan waktu di ladang dan memancing ikan untuk menghidupi keluarga.

“Saya mulai berburu tahun 2014 dan tahun 2016 tertangkap,” kata Aan di kediamannya.

Bersua muka dengan bapak satu anak ini, sulit untuk membayangkan kalau ia adalah seorang pemburu. Namun jangan terkecoh, dengan badan cekingnya, ia sudah membunuh tujuh ekor harimau hanya dalam waktu dua tahun saja.

Aan merupakan jejaring pemburu kawakan bernama Sudirman alias Buyung Dang atau Yadang. Mereka menguasai hutan TNKS jauh lebih baik dari para petugas pengawas hutan. Dalam praktiknya, kelompok ini bisa memainkan tiga peran sekaligus, yakni eksekutor (pemburu) di lapangan, perantara, sekaligus juga pengepul.

Jerat harimau sumatera yang ditemukan di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ratusan jerat masih kerap ditemukan setiap tahunnya. Sebarannya bahkan sudah memasuki jantung hutan.

Khusus Aan, ia adalah eksekutor di lapangan. Ia pernah meraup uang hingga Rp60 juta untuk satu ekor harimau yang dibunuhnya pada tahun 2014. Jadi bisa dibayangkan berapa angka yang dipetik para perantara Aan. Yang jelas, tidak mungkin angkanya di bawah sang eksekutor.

Namun, klaim Aan, selama berkecimpung dalam perburuan harimau dia tak pernah mengenal siapa pembelinya. Sebab, seluruh transaksi harga dilakukan oleh Sudirman alias Yadang, tetangga sekampungnya. Kami menghubungi Sudirman untuk mewawancarainya, tetapi ia menolak dan melarang kami berkunjung ke desanya. Beruntung bagi kami, Aan bersedia.

“Saya cuma terima beres saja uangnya. Yang urus semuanya Yadang,” kata Aan.

Geng pemburu Sungai Ipuh ini cukup populer di kalangan pengepul. Beberapa pengepul yang sempat kami wawancara, entah itu di Jambi, Padang, dan Tapan mengenal komplotan ini.

“Mereka menyediakan offsett-an juga yang sudah siap jual. Di Simpang Penarik (Mukomuko) tempatnya,” kata Mamad, mantan pegawai resor TNKS yang kami temui di Padang Aro, Kabupaten Solo Selatan, Sumatera Barat.

Mamad dan anak lelakinya, Nof, dikenal juga sebagai pemburu. Dia membantah dan menegaskan bahwa mereka cuma berbisnis geliga landak atau batu landak. Tetapi hal berbeda diceritakan pemburu dan pengepul lain kepada kami.

Selain itu, pernyataan Mamad mengenai “Simpang Penarik” seperti membuka kedoknya sendiri. Kawasan itu adalah daerahnya komplotan Sudirman dan Aan. Bisa kami pastikan cuma segelintir orang yang mau ke “Simpang Penarik”, apalagi sampai tahu ada bisnis kulit harimau di sana. Jarak kawasan itu dari rumah Mamad di Padang Aro saja dua hari berkendara.

Harimau sumatera merupakan satu dari tiga spesies harimau yang pernah tinggal di Indonesia. Dua lainnya, yakni harimau jawa dan harimau bali sudah dinyatakan punah. (Yayasan Auriga Nusantara)

Kembali ke Aan, berdasarkan pengakuannya, sebagian besar hasil buruan kelompoknya dikirim ke penampung di Riau, yang tak lain rekanan bisnis Kar, si penampung gaharu. Pilihan lain adalah ke Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Aan tak menampik jika beberapa kali barang mereka pernah dilempar ke Kar. Namun memang kebanyakan harga jualnya tak sesuai ekspektasi. Karena itu, mereka memilih menjual langsung ke pengepul di Riau dan Palembang.

Malah, lanjut Aan, ia dan Yadang sampai tertangkap lantaran mereka mencoba kembali menjual ke Kar. Tapi lantaran tak cocok ukuran, akhirnya mereka terjebak menjual ke petugas yang menyamar.

“Berarti kan di 2016, Kar masih bisa menampung. Cuma memang kebetulan saja tidak cocok ukuran kulitnya, soalnya memang masih kecil juga harimaunya,” tutur Aan.

Kini, usai menebus dosanya di penjara. Aan memilih menyibukkan dirinya dengan aktivitasnya di ladang atau mencari ikan di sungai.

“Saya menyesal sedalam-dalamnya. Ini baru keluar penjara, cuma tinggal baju di badan saja. Saya sampai jual hape untuk beli baju,” kata Aan. Rautnya kami perhatikan serius. Berulang kali matanya menerawang ke atas dan berkaca-kaca.

Kami mengalihkan obrolan, bertanya soal Yadang. Gestur Aan tampak berubah dan ia bercerita bahwa sejak kepulangan mereka dari penjara, Yadang memilih lebih banyak menghabiskan waktu di ladang ketimbang di desa.

Kata Aan, ketua komplotannya itu sepertinya merasa terkucil dan malu. Ia khawatir, jika itu berlanjut, tidak menutup kemungkinan Yadang bakal berburu lagi.

“Mungkin saja (kembali berburu). Dia juga menguasai relasi. Kalau saya apalah. Karena itu saya tidak mau (berburu) dan tidak ingin menerima tawaran orang untuk berburu harimau lagi,” tegas Aan.

Di ujung perjalanan, kami tercenung. Rasanya memang menyelamatkan harimau persis seperti kalau kita sedang berkejaran dengan waktu. Pilihannya, kalau harimau itu tidak diburu, ya kemungkinan mereka mati karena rumahnya tak ada lagi.

Hutan-hutan punya banyak sekali pintu. Siapa saja bisa menyusup ke dalamnya dan mengeruk isinya dengan aman. Memang, pandemi Covid-19, yang memaksa berkurangnya semua kegiatan, seperti membawa berkah bagi harimau sumatera dan penghuni hutan lainnya. Mereka bisa sejenak bernapas lega. Namun, tak ada yang bisa menjamin apakah situasi tersebut bakal bertahan ketika pandemi mereda.

Di tengah renungan, mendadak seorang sumber menghubungi. Dia baru saja dihubungi seorang pemain besar dari Jakarta. Katanya, si tuan di Jakarta bertanya, “ada ‘barang’ atau tidak.”

Tampaknya, tak semudah itu perburuan akan berhenti. 

*Liputan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi dalam program “Bela Satwa Project” yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara
*Diterbitkan di Ekuatorial.com dan betahita.id sebagai liputan kolaborasi.

SHARE