Prioritas Pemindahan TNI-Polri di IKN Dan Potensi Pelanggaran HAM
Penulis : Aryo Bhawono
HAM
Minggu, 06 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Prioritas pemindahan TNI dan Polri ke IKN menunjukkan sikap pemerintah untuk melakukan pendekatan keamanan dalam pembangunan Ibu Kota Negara. Pendekatan ini ditambah dengan antusiasme Pemuda Pancasila kian menjauhkan pendekatan HAM dan humanis untuk menghadapi konflik pemerintah dengan warga selama masa pembangunan IKN.
Prioritas pemindahan TNI dan Polri sendiri pernah diucap oleh Deputi Bidang Pengembangan Nasional atau Bappenas Regional Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata, pada September 2021 lalu.
"Itu kajian persiapan, kan pemindahannya baru 2023, yang duluan pindah adalah TNI, Polri untuk memastikan keamanan," jelas Rudy kala itu.
Pada 30 Januari lalu Polri sendiri telah mematok lahan seluas 3,8 Hektar sebagai markasnya namun diusulkan menjadi 30 Ha. Sedangkan Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, menyebutkan markas tiga matra meliputi lahans eluas 4.500 Ha.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap prioritas pemindahan markas tentara dan polisi di ini akan membuat masyarakat, dan masyarakat adat, di sekitar IKN kian rentan ketika menghadapi konflik pembangunan IKN.
Hingga kini belum diketahui secara pasti jumlah yang akan dipindahkan. Tetapi dapat dipastikan bahwa di 2023 pengerahan aparat akan dilakukan besar-besaran.
Peneliti KontraS, Adelita Kasih, mengungkapkan pendekatan keamanan pemerintah mengawal proyek besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hingga Objek Vital Nasional berimbas buruk pada masyarakat.
“Kami mengkhawatirkan kalau pendekatan keamanan ini hanya akan mengganggu masyarakat dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, bukan hanya berhenti pada mereka hadir tetapi mereka akan menghadirkan teror, intimidasi, bahkan kekerasan,” ucap dia.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Wadas terkait rencana penambangan quarry pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, yang terjadi pada Februari lalu. Penolakan warga justru dijawab dengan membanjiri desa kecil itu dengan pasukan polisi. Kekerasan, intimidasi, hingga penangkapan sewenang-wenang merebak dalam dua hari selama polisi berada di sana.
Adelita tak hanya khawatir dengan kehadiran aparat saja tetapi juga antusiasme ormas Pemuda Pancasila untuk hadir di IKN.
“Kita bisa lihat, bahwa ormas yang dekat dengan agenda pengamanan, seperti halnya Pemuda Pancasila, telah siap membangun markasnya di IKN dan ikut agenda pengamanan di pembangunan IKN sendiri,” jelasnya.
Gelagat pendekatan keamanan ini ditambah proses pembahasan perundangan yang tidak akuntabel serta narasi tunggal pembangunan maka proyek IKN ini sangat berpotensi menciptakan pelanggaran HAM dalam prosesnya.
KontraS sendiri meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan evaluasi serius dan menunda pemindahan IKN.
“Lembaga pengawas seperti Komnas HAM, KPK, dan Ombudsman untuk secara aktif melakukan pengawasan atas berbagai kebijakan maupun keputusan dalam proses pembangunan IKN sesuai prinsip clean and good governance,” ucap peneliti KontraS, Rozy Brilian.
SHARE