Kuda-Kuda Ekonomi 2017
Penulis : Redaksi Betahita
Analisis
Kamis, 13 April 2017
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Di pengujung tahun 2016, hiruk-pikuk perekonomian global semakin memanas. Belum berakhir hawa panas hasil referendum yang memenangkan kelompok yang setuju Inggris Raya keluar dari Uni Eropa (Brexit), dunia juga dikejutkan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45.
Dua hasil proses demokrasi yang mengejutkan ini, berdampak pada konstelasi perekonomian global di 2017. Apalagi sengatan pernyataan Trump di fase kampanye memberikan rasa takut bagi pelaku ekonomi global.
Trump dengan slogan'Make USA Great Again' beberapa kali menyatakan, AS akan mengambil langkah penyelamatan ekonomi melalui kebijakan proteksionisme, memotong pajak korporasi dan individu, meningkatkan belanja pemerintah, menghapus program perlindungan sosial (Obamacare) dan merancang ulang kerjasama luar negeri Amerika Serikat.
Hawa panas juga menyeruak di ranah ekonomi nasional. Efek kemenangan Trump (Trumpflation) mengguncang stabilitas keuangan Indonesia. Dalam sekejap mata, aliran dana keluar (capital outflow) mengalir deras keluar dari sistem keuangan Indonesia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memerah setelah cukup lama sumringah dengan adanya amnesti pajak. Rupiah terkapar loyo dan sempat menyentuh angka psikologis yaitu Rp 13.800 terhadap dollar AS. Setelah itu kembali normal dengan intervensi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
Selain faktor Trumplation, instabilitas ekonomi nasional juga terancam oleh suhu politik nasional yang juga ikut memanas. Rasa pesimistis dari pelaku usaha terhadap harapan perbaikan ekonomi menyeruak di berbagai forum pertemuan. Banyak pengusaha dan pengamat ekonomi meminta pemerintah harus segera mendinginkan suhu politik nasional. Sebab, di tengah ancaman ketidakpastian ekonomi global, menjaga stabilitas politik nasional penting untuk memberi rasa aman terhadap aktivitas ekonomi.
Ketidakpastian ekonomi global dan kegaduhan politik nasional menjadi drama di akhir tahun ini. Jika pemerintah tidak berhati-hati dapat menjadi benalu bagi perekonomian di tahun 2017. Apalagi benteng pertahanan ekonomi Indonesia masih rapuh. Struktur ekonomi yang berbasis eksploitasi sumber daya alam (SDA) dengan bergantung pada ekspor komoditas seperti tambang dan kelapa sawit sangat rentan terhadap gejolak ketidakpastian ekonomi global.
Dana asing yang mudik ke negeri asalnya terutama AS, dipicu sentimen The Fed akan menaikkan suku bunga untuk merespon kebijakan Trump. Hengkangnya dana asing berdampak terhadap kekeringan likuiditas di dalam negeri. Ini bisa mengancam pasar keuangan dan memicu pelemahan nilai rupiah.
Sinyal persaingan antar kekuatan ekonomi global tinggal menunggu waktu. Beberapa negara sudah mempersiapkan kuda-kuda untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi. Tentu semua orang menunggu kepastian dari arah kebijakan ekonomi Trump.
Ancaman juga akan melanda Tiongkok. Sebagai negara pesaing utama sekaligus mitra dagang utama AS, kebijakan Trump akan menciptakan ancaman terhadap perekonomian Tiongkok. Apalagi, ekonomi Tiongkok sedang melesu setelah satu dekade terakhir sangat adidaya. Harapan terhadap pemulihan ekonomi di Uni Eropa makin tidak jelas. Selain ada risiko terhadap Brexit, sekarang Uni Eropa terancam arah kebijakan Trump.
Perkuat ekonomi domestik
Di tengah kondisi itu, Indonesia harus menyiapkan kuda-kuda ekonomi untuk mengantisipasi gejolak yang menyeruak di tahun 2017. Ini menjadi ajang ujian bagi pemerintah Jokowi yang sudah masuk pada fase tahun ketiga pemerintahan. Jika Jokowi gagal meredam gejolak di tahun 2017, habislah asa, karena tahun berikutnya sudah masuk tahun politik.
Untuk memperkuat kuda-kuda ekonomi, ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pertama, pemerintah harus memperkuat perekonomian domestik. Caranya meningkatkan daya beli masyarakat.
Cara yang paling cepat adalah mendorong dari sisi kebijakan fiskal. Anggaran harus didorong untuk meningkatkan daya beli terutama kelompok menengah ke bawah. Pemerintah harus mendesain program cash transfer melalui pembangunan infrastruktur dasar padat karya atau dikenal dengan cash for work.
Penggunaan dana desa harus di dorong untuk meningkatkan daya beli masyarakat di pedesaan. Memastikan bahwa perbaikan infrastruktur desa dapat berdampak terhadap perbaikan logistik di pedesaan, sehingga mampu menekan harga. Selain itu, pemerintah harus menjaga inflasi agar tidak menggerus daya beli masyarakat.
Kedua, pemerintah harus menjaga stabilitas fiskal melalui peningkatan penerimaan negara dan menekan biaya yang bersifat boros dan kurang bernilai manfaat. Ini penting, karena di 2017, mengharapkan stimulus kebijakan moneter semakin sulit karena ruangnya semakin sempit, ketika The Fed menaikkan suku bunga.
Untuk menaikkan ruang fiskal, pemerintah harus mengejar penerimaan pajak. Peluangnya besar paska amnesti pajak. Selain itu, upaya mengoptimalkan penerimaan pajak harus didorong dengan penegakan hukum, perbaikan regulasi dan sistem administrasi perpajakan.
Di sisi pengeluaran, program-program yang kurang memberikan nilai manfaat bagi peningkatan daya beli masyarakat harus dikurangi, terutama belanja rutin yang kurang efisien seperti perjalanan dinas. Pemerintah harus mendorong perbaikan program perlindungan sosial kelompok miskin yang rentan terimbas gejolak ekonomi. Pemerintah juga harus mendorong belanja pertanian agar dapat meningkatan nilai tukar petani.
Ketiga, pemerintah harus mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan. Tahun 2017 merupakan tahun politik. Sebab tahun depan, ada sekitar 101 daerah yang melangsungkan pesta demokrasi yakni pemilihan kepala daerah secara langsung. Panasnya suhu politik sudah sangat terasa saat ini terutama di sentra ekonomi nasional, DKI Jakarta.
Gejolak politik di Ibukota akhir-akhir ini sudah berimbas terhadap instabilitas nasional yang akan merambat ke instabilitas ekonomi. Tekanan dari sisi politik dan keamanan sangat riskan berimbas kepada guncangan ekonomi nasional. Disinilah peranan pemerintah penting untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan di tahun 2017.
Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Yayasan Auriga Nusantara
SHARE