Gumpalan Besar Gas Metana Global Berhasil Dipetakan
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Senin, 07 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gumpalan besar gas metana panas di ladang minyak dan gas bumi berhasil dipetakan secara global menggunakan satelit. Hasil pemetaan ini menunjukkan menutup kebocoran metana menjadi langkah penting untuk mengerem perubahan iklim.
Penelitian baru, yang dimuat dalam jurnal Science, menemukan gumpalan ini menutupi area yang luas, hingga membentang 200 mil. Sebagian besar gumpalan metana ini merupakan kebocoran besar yang dianggap tidak disengaja. Padahal tahun lalu sekitar 100 negara berjanji untuk mengurangi emisi metana pada tahun 2030.
"Kami tahu tentang ledakan penggunaan gas individu sebelumnya, tetapi pekerjaan ini menunjukkan jejak metana sebenarnya dari operasi minyak dan gas di sekitar planet ini," ucap Riley Duren, CEO Carbon Mapper penulis makalah yang melacak emisi metana, dalam wawancara dengan BBC News.
Metana biasanya bocor dari fasilitas minyak dan gas selama operasi pemeliharaan, misalnya saat memperbaiki katup, pipa, atau dari stasiun kompresor (fasilitas yang menjaga aliran dan tekanan gas alam).
Gas metana juga dihasilkan oleh tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, pertanian, dan produksi batubara.
Penelitian ini sendiri difokuskan pada pendeteksian kebocoran minyak dan gas karena tersumbat dan dapat diatasi jika perusahaan berinvestasi dalam pencegahan.
Para ilmuwan percaya bahwa pengurangan emisi metana adalah cara mudah mengatasi perubahan iklim. Metana adalah gas yang sangat kuat dan biasanya dilepaskan oleh manusia dalam kebocoran. Hal ini dapat dihentikan dengan cara relatif lebih mudah.
Studi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun lalu menunjukkan sekitar 30-50 persen kenaikan suhu saat ini karena metana.
Ilmuwan utama penelitian tersebut, yakni peneliti laboratorium sains LSCE CEA-Saclay Prancis, Thomas Lauvaux, mengatakan kepada BBC News bahwa penghitungan emisi gas rumah kaca biasanya bergantung pada pelaporan negara atau perusahaan.
“Tetapi mengumpulkan data dari atmosfer merupakan pendekatan yang lebih ketat untuk penghitungan emisi, lebih independen dan lebih transparan", jelasnya.
Tiga negara dengan gumpalan terbesar yang diidentifikasi dalam penelitian terbaru adalah Turkmenistan, Rusia dan AS.
Kelemahan pemetaan satelit ini adalah tidak dapat mengukur kebocoran di daerah dengan tutupan awan tebal atau di ketinggian, termasuk sebagian besar Kanada dan China. Mereka hanya mengukur gumpalan gas dari fasilitas darat.
Data dikumpulkan pada 2019-20 oleh instrumen TROPOMI pada satelit Sentinel UE. Instrumen ini mengidentifikasi kebocoran terbesar dalam ultra-emitor, terhitung sekitar 12 persen dari semua kebocoran metana oleh perusahaan minyak dan gas.
"Saya terkejut tetapi tidak terkejut dengan sifat luas dari emisi ultra ini. Mereka adalah puncak gunung es," Profesor Geosains University of Edinburgh, Paul Palmer,.
Lima tahun ke depan akan lebih banyak satelit dikerahkan, beberapa akan mendeteksi metana pada resolusi yang jauh lebih tinggi. Hal ini berarti fasilitas minyak dan gas individu dapat diidentifikasi.
"Segera, dengan sensor yang akan datang, akan lebih sulit bagi industri minyak dan gas untuk mengklaim ketidaktahuan tentang kebocoran, tidak disengaja atau sebaliknya," jelasnya.
Penelitian itu menyebutkan negara-negara dapat menghemat miliaran dengan menutup kebocoran ini, termasuk 6 miliar Dolar AS untuk Turkmenistan, 4 miliar Dolar AS untuk Rusia dan 1,6 miliar Dolar AS untuk AS.
Para ilmuwan memperkirakan menghentikan kebocoran akan mencegah antara 0,005C dan 0,002C pemanasan. Angka ini setara dengan menghilangkan semua emisi dari Australia sejak 2005 dari atmosfer atau emisi dari 20 juta mobil selama setahun.
Palmer menjelaskan membatasi kebocoran ini mungkin tampak seperti hanya memainkan peran yang dapat diabaikan tetapi implikasi sosialnya signifikan.
Pada bulan November, lebih dari 100 pemerintah di konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow menandatangani Ikrar Metana Global. Komitmen ini bertujuan membatasi emisi metana hingga 30 persen dibandingkan dengan tingkat tahun 2020.
SHARE