Masyarakat Adat: Kami Tak Mau Ada Perkebunan Sawit Masuk Lagi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Kamis, 26 Agustus 2021
Editor :
BETAHITA.ID - "Pada 2013 masyarakat sudah melakukan aksi tolak perkebunan, kami baru tahu ada izin, masuk melalui siapa, tidak ada sosialisasi? Pemerintah tidak lindungi kami, pemerintah lebih dukung perusahaan," ujar Beni.
Beni adalah Tokoh Pemuda Kampung Tapiri, seperti dikutip dari Kertas Kebijakan 'Kami Tidak Mau Ada Perkebunan Sawit Masuk Lagi' yang diterbitkan Pusaka dan beberapa organisasi masyarakat sipil lain beberapa waktu lalu.
Pernyataan Beni ini disampaikan dalam dikusi yang digelar organisasi masyarakat sipil bersama masyarakat adat di Kampung Tapiri dan Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel). Masyarakat adat semakin marah setelah mengetahui pemerintah daerah telah memberikan izin kepada PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) seluas kurang lebih 37 ribu hektare di wilayah 15 marga Suku Tehit, di Kabupaten Sorsel.
"Suku Tehit terbagi beberapa sub suku, terbagi lagi dalam marga-marga, wilayah adat marga sangat kecil, jika perusahaan ambil kita makan apa, anak cucu bagaimana," kata salah satu Ketua Marga Kampung Bariat.
Manager Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea mengatakan, kertas kebijakan yang mereka buat itu disusun dari hasil diskusi dengan masyarakat adat di lima kampung atau desa. Wilayah lima kampung itu masuk ke dalam wilayah konsensi perusahaan yang sudah dicabut Bupati Sorsel.
"Kami temukan banyak pelanggaran hak masyarakat adat akibat dari penerbitan izin-izin sebelumnya," kata Tigor.
Pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran prinsip free, prior, informed dan consent (FPIC), pelanggaran hak masyarakat adat, pelanggaran hak atas lingkungan, pelanggaran hak atas kesehatan dan pelanggaran penghidupan yang layak.
Tigor menguraikan, di Kampung Tapiri dan Wersar, masyarakat adat tidak memberikan persetujuan perusahaan mengambil alih tanah dan hutan adat. Menurut Tigor, persoalan serupa juga terjadi di tiga kampung lainnya, yakni Kampung Srer di Distrik Seremuk, Kampung Bariat di Distrik Konda dan Kampung Sira di Distrik Saifi, yang mana izin yang diberikan pemerintah daerah tidak diketahui oleh masyarakat adat.
Tigor mengungkapkan, hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pemerintah Provinsi Papua disambut masyarakat dengan melakukan unjuk rasa menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Sorsel untuk mengeluarkan keputusan mencabut izin-izin perusahaan dalam usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorsel.
Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Menemukan Beberapa Temuan Pelanggaran dan Rekomendasi Tindak Lanjut
Hasilnya, pada 20 Mei 2021 Bupati Sorsel mengeluarkan 6 surat keputusan mencabut izin 4 perusahaan perkebunan kelapa sawit. 4 perusahaan tersebut yaitu, PT Varia Mitra Andalan anak perusahaan Eagle High Plantation, dan tiga anak usaha Group Indonusa Agromulia (PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agro Mulia dan PT Internusa Jaya Sejahtera). Pasca melakukan pencabutan Bupati
Kabupaten Sorong Selatan harus segera melakukan tindak lanjut untuk meminta Kementerian
Empat Perusahaan Yang Izinnya Telah Dicabut
"Kalau di laporan KPK ada 2 izin lagi yang harus ditindaklanjuti pemberian sanksi, tapi belum dilakukan pemda. PT PPM (Permata Putera Mandiri) dan PT PMP (Putera Manunggal) Perkasa, milik Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Group."
Pasca-pencabutan izin-izin perusahaan perkebunan kelapa sawit, secara tegas masyarakat menyampaikan dua hal. Yang pertama, pemerintah daerah tidak lagi memberikan izin-izin baru kepada perusahaan apapun di wilayah adat masyarakat. Yang kedua, masyarakat menginginkan adanya kepastian perlindungan dan pengamanan terhadap tanah dan hutan adat dalam bentuk pengakuan hak atas wilayah adat dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
"Hasil diskusi masyarakat menyatakan sikap tidak ingin ada perkebunan kelapa sawit masuk lagi ke wilayah adatnya atau penerbitan izin-izin baru terkait perkebunan apapun. Masyarakat inginnya agar wilayah adat dikelola sendiri oleh masyarakat adat."
Tigor melanjutkan, sikap penolakan dan permintaan masyarakat tersebut dikarenakan kekhawatiran aktifitas perkebunan kelapa sawit akan menggusur hutan dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat. Masyarakat adat Tehit sudah mengalami dan melihat dampak dari aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Distrik Klamono, Moswaren, Inanwatan dan Kais. Masyarakat adat setempat kehilangan mata pencaharian dan menjadi buruh perusahaan, kehidupan masyarakat adat tidak mengalami kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan.
Di Kampung Tapiri dan Wersar, Distrik Teminabuan, masyarakat adat memprioritaskan merawat pohon langsat hutan, buah langsat Wersar sangat terkenal karena manisnya. Bila musim panen masyarakat memperoleh untung besar.
Di Kampung Srer, Distrik Seremuk, masyarakat adat mengelola hasil hutan berupa damar dan gaharu. Masyarakat pernah merasakan kekecewaan dengan program yang dilaksanakan pemerintah daerah, masyarakat diminta membuka lahan untuk mengembangkan pohon jati dan kakao, setelah ditanam dan proses perawatan program berhenti. Saat masa panen, hasilnya tidak terserap pasar. Saat ini, jati dan kakao dibiarkan tumbuh tanpa perawatan.
Di lima kampung di Distrik Konda, selain berkebun dan memanfaatkan hasil hutan, masyarakat juga mengelola dan menjual pasir, buat bahan bangunan. Masyarakat telah mengatur jadwal penjualan setiap kampung secara bergantian, pengelolaan mandiri telah dilakukan masyarakat.
Tigor menuturkan, beragam dampak negatif dirasakan masyarakat adat atas masuknya perkebunan sawit di wilayah adat. Seperti, hilangnya budaya dan adat istiadat. Yang mana, perkebunan kelapa sawit mengkonversi dan menggusur kawasan hutan dan lahan dalam skala luas, yang akan menghilangkan tempat sejarah asal-usul, tempat sakral, properti adat, yang diyakini masyarakat sebagai tempat penting dan identitas masyarakat adat.
Kemudian dampak ekologis. Potensi kehilangan ratusan ribu hektare hutan beralih menjadi perkebunan kelapa sawit akan berdampak menurunkan kualitas ekologis lingkungan dan terjadinya pemanasan iklim dengan menurunnya fungsi tanah, air, udara, hilangkan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), yang pada gilirannya menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Selanjutnya, kehilangan orientasi hidup. Masyarakat adat mempunyai kehidupan erat dan tergantung mengelola tanah dan hutan secara mandiri. Hilangnya hutan akan mengubah mata pencaharian dan menjadikan masyarakat sebagai buruh kasar. Praktik ini terjadi di berbagai tempat yang mengubah masyarakat masuk ke dalam corak ekonomi industri dan merugikan masyarakat, karena tidak merasa lagi sebagai pemilik atas ruang hidupnya.
Berikutnya, hilangnya pendapatan masyarakat. Perkebunan kepala sawit dengan sistem tebang hutan habis dan mengganti tanaman dengan monokultur, menghilangkan pengelolaan hutan yang sejak lama dilakukan sekaligus pendapatan masyarakat. Pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memberikan pendapatan ekonomi bagi masyarakat dalam skala rumah tangga. Mencukupi kebutuhan pangan dan papan. Bagi masyarakat pengelolaan hutan saat ini sudah cukup menunjang kebutuhan.
Rekomendasi Masyarakat Adat Suku Besar Tehit kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorsel
- Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan melakukan pengakuan masyarakat adat menggunakan instrumen hukum PermendagriNomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui keputusan kepala daerah atau membentuk Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang memuat pengakuan kepada masyarakat adat, perlindungan dan pengakuan wilayah adat hak-hak masyarakat adat.
- Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan melakukan perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sorong Selatan, untuk memastikan pengaturan wilayah masyarakat adat ke dalam RTRW.
- Pemerintah Daerah kabupaten Sorong Selatan menghentikan pembangunan berbasis industri yang merampas tanah dan hutan adat masyarakat dengan cara tidak memberikan izin apapun kepada perusahaan atau pihak lain.
- Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan menghormati dan mengembangkan upaya pengelolaan hutan dan ekonomi rakyat yang dilakukan oleh masyarakat adat.
- Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong segera menindaklanjuti secara keseluruhan temuan dan rekomendasi Laporan Hasil evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat.
Koordinator Aksi Relawan Sosial dan Lingkungan Sorong Selatan, Holland Abago mengatakan, penolakan perkebunan sawit sebetulnya tidak hanya dilakukan oleh Suku Besar Tehit di 5 kampung di 4 distrik itu saja. Namun Suku Besar Maybrat Tee, yang terdiri dari Distrik Wayer dan Distri Moswaren, juga menolak perkebunan sawit masuk di wilayah adatnya.
"Kami juga punya relawan di wilayah ini. Secara individu dan kelompok suku, mereka 100 persen menolak sawit. Hanya beberapa tokoh intelektual saja di wilayah Suku Besar Maybrat Tee yang bungkam suara," kata Holland, Rabu (25/8/2021).
Penolakan yang dilakukan Suku Besar Tehit, terutama yang dilakukan oleh masyarakat adat di Distrik Konda dan Distrik Teminabuan terhadap kehadiran PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) sebenenarnya sudah mulai disuarakan oleh masyarakat sejak 2013. Sejak itu hampir setiap tahun masyarakat adat menyampaikan protes kehadiran PT ASI itu kepada pemerintah daerah, hingga akhirnya Bupati Sorong Selatan mencabut izin PT ASI.
Sementara itu, perlawanan dan penolakan masyarakat adat Suku Besar Tehit yang tinggal di Distrik Saifi dan Distrik Seremuk terhadap PT Internusa Jaya Sejahtera juga sudah terjadi sejak 2015 lalu.
"Terakhir 2019 itu mereka melakukan upacara adat penolakan kelapa sawit. Namun tidak dipublis secara luas."
Sementara itu, mengenai penolakan perkebunan sawit oleh Suku Besar Maybrat Tee di Distrik Wayer dan Distrik Moswaren, diakui Holland, memang tidak terlalu gencar mengemuka. Selain karena hanya beberapa kepala keluarga saja yang tanahnya masuk dalam areal izin perkebunan sawit, keterlibatan pemuda dan tokoh intelektual dalam menolak kehadiran perkebunan sawit di dua distrik itu juga kurang.
SHARE