Studi Perubahan Iklim: Bumi Bukan Lagi Tempat yang Sama

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Selasa, 27 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sejak adanya penilaian komprehensif terakhir IPCC pada 2014 tentang pemanasan global di masa lalu dan masa depan, bumi kini bukan lagi tempat yang sama. Sebelum terjadinya gelombang panas dan kebakaran yang mematikan baru-baru ini, masih ada debat dan keraguan apakah memang cuaca global tengah ataukah ini adalah hampir sepenuhnya karena ulah manusia.

Selain itu orang juga sibuk memprediksi bahwa dampak dari perubahan iklim adalah makin beratnya masalah di masa depan.

Yang juga berbeda sejak tahun 2014 adalah bahwa telah diadopsinya Perjanjian Paris dengan janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan bumi pada "jauh di bawah" dua derajat Celsius di atas level akhir abad ke-19.

Polusi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil, kebocoran gas metana, dan pertanian telah menaikkan ukuran suhu pada termometer 1,1 derajat Celsius sejauh ini. Setelah jeda singkat yang disebabkan oleh Covid, emisi kembali meningkat tajam, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Seekor kanguru bersama bayinya di tengah hutan yang terbakar. Kebakaran hebat di Australia pada 2019-2020 dilaporkan telah membunuh dan menelantarkan hampir tiga juta satwa. Foto: Jo-Anne McArthur/Weanimals

Selain itu, ada Traktat 2015 yang memuat batasan aspirasional pada pemanasan sebesar 1,5 derajat Celsius. Laporan khusus IPCC pada tahun 2018 juga menunjukkan betapa lebih dahsyatnya dampak pertambahan 2 derajat Celcius bagi kehidupan umat manusia dan planet ini.

Batasan aspirasional 1,5 derajat Celcius menjadi target de facto dan bukti pengaruh IPCC dalam membentuk kebijakan global, kata penulis utama IPCC dan profesor Universitas Maynooth Peter Thorne.

Para ilmuwan telah menghitung bahwa emisi gas rumah kaca harus turun 50% pada tahun 2030, dan dihapus seluruhnya pada tahun 2050 agar tetap berada dalam kisaran 1,5 derajat Celsius.

"Ini akan menjadi peringatan, tidak ada keraguan tentang itu," kata Richard Black, pendiri dan rekanan senior di lembaga pemikir Energy and Climate Intelligence Unit yang bermarkas di London, Inggris, seperti dikutip DW. Richard Black mengatakan bahwa laporan dari para peneliti datang hanya beberapa minggu menjelang Sidang Umum PBB, KTT G20, dan KTT iklim COP26 yang beranggotakan 197 negara di Glasgow.

Pekan ini, perwakilan dari 195 negara, dengan para ilmuwan terkemuka, akan memeriksa 20 hingga 30 halaman laporan tentang perubahan iklim. Pertemuan virtual pada putaran pertama ini mencakup bidang ilmu fisika. Dokumen itu diharapkan bisa dirilis pada 9 Agustus 2021.

Bagian kedua dari laporan ini, yang akan diterbitkan pada Februari 2022, mencakup dampak. Sementara bagian ketiga, yang akan diumumkan bulan berikutnya, membahas solusi untuk mengurangi emisi.

Selain itu, pertemuan tersebut juga akan membahas fokus baru pada apa yang disebut peristiwa "probabilitas rendah, berisiko tinggi", seperti pencairan lapisan es yang tidak dapat diubah yang dapat meningkatkan permukaan laut beberapa meter, dan pembusukan lapisan es yang sarat dengan gas rumah kaca.

"Umpan balik yang memperkuat perubahan (menunjukkan dampak yang) lebih kuat dari yang kita duga dan kita mungkin mendekati beberapa titik kritis," kata Tim Lenton, Direktur Institut Sistem Global Universitas Exeter.

DW

SHARE