Studi: Babi Liar Hasilkan CO2 Setara 1,1 Juta Mobil Per Tahun
Penulis : Tim Betahita
Perubahan Iklim
Minggu, 25 Juli 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Studi terbaru mengungkap dampak iklim dari populasi babi hutan di seluruh dunia setara dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan 1,1 juta mobil setiap tahun.
Permodelan itu dibuat tim peneliti internasional yang memperkirakan bahwa babi liar melepaskan 4,9 juta metrik ton karbon dioksida (CO2) setiap tahun secara global dengan cara menggali tanah di habitat mereka.
Peneliti Dr. Christoper O’Bryan dari University of Queensland mengatakan, babi liar adalah salah satu spesies invasif vertebrata paling banyak di planet bumi. “Babi adalah hewan asli Eropa dan sebagian Asia, tetapi mereka telah diperkenalkan ke setiap benua kecuali Antartika,” katanya.
“Ketika kita memikirkan perubahan iklim, kita cenderung memikirkan masalah bahan bakar fosil klasik. Ini adalah salah satu ancaman tambahan terhadap karbon, dan potensi perubahan iklim yang belum benar-benar dieksplorasi secara global.”
Babi liar mencabuti tanah saat mencari makanan, sebuah proses yang dianalogikan peneliti dengan traktor mini yang membajak tanah. Cara ini membuat mikroba di tanah terpapar oksigen dan mereproduksi dengan kecepatan tinggi, kemudian menghasilkan emisi karbon dalam bentuk CO2.
“Setiap bentuk perubahan penggunaan lahan dapat berdampak pada emisi karbon dari tanah,” kata O’Bryan. “Hal yang sama terjadi ketika Anda menggunakan traktor di ladang atau menebangi lahan.”
Peneliti memperkirakan babi hutan mencabuti area seluas 36.000 kilometer persegi di habitat tidak asli mereka.
Oseania merupakan wilayah terbesar yang mengalami gangguan babi hutan, dengan luas setidaknya 22.000 kilometer persegi, diikuti Amerika Utara. Babi di Oseania menyumbang lebih dari 60% perkiraan emisi tahunan hewan, sebesar hampir 3 juta metrik ton CO2. Angka ini setara dengan sekitar 643.000 mobil.
Temuan itu diterbitkan dalam jurnal Global Change Biology, dengan menggunakan tiga model. Satu model memprediksi kepadatan babi hutan secara global melalui 10.000 simulasi berdasarkan informasi yang ada tentang populasi dan lokasi babi hutan.
Model kedua mengubah kepadatan babi menjadi area lahan terganggu, dan model ketiga memperkirakan jumlah CO2 yang dipancarkan saat tanah mengalami gangguan babi hutan.
Nicholas Patton, mahasiswa post-doktoral di Unviersity of Canterbury, mengatakan ada beberapa ketidakpastian dalam pemodelan sebagai akibat variabilitas kandungan karbon di tanah dan kepadatan bagi hutan di berbagai daerah.
“Area yang merupakan rawa gambut atau tanah hitam… terutama yang memiliki banyak kelembapan, adalah penyerap karbon,” katanya Patton.
“Ketika babi masuk dan berhabitat di sana, mereka memiliki lebih banyak potensi untuk melepaskan karbon (dari tanah jenis lain).”
Selain dampak iklim, dampak destruktif babi hutan telah didokumentasikan dengan baik. O’Bryan mengatakan mengelola hewan adalah tantangan yang membutuhkan penentuan prioritas terkait dampak mana yang dianggap paling signifikan.
“Jika yang kita pedulikan hanyalah pertanian, maka biaya dan manfaat mengelola babi akan berbeda dengan jika kita hanya peduli pada emisi karbon. Akan berbeda juga ketika yang kita perhatikan hanya keanekaragaman hayati,” katanya.
“Pada akhirnya, babi liar adalah masalah manusia. Kita telah menyebarkannya ke seluruh dunia. Ini adalah dampak iklim lain yang dimediasi oleh manusia,” pungkasnya.
SHARE