Penghapusan Royalti: Untungkan Oligark Batu Bara, Rugikan Negara
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 25 Februari 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Pendapatan Negara dari penerimaan sumber daya alam (SDA) di tahun-tahun mendatang dipastikan akan berkurang, sebagai imbas dari kebijakan dihapuskannya royalti pertambangan batu bara. Tak heran bila kebijakan itu dianggap hanya akan menguntungkan para oligark tambang batu bara dan merugikan Negara.
Penghapusan royalti ini diamanatkan dalam Pasal 128 A Undang-Undang Cipta Kerja, dan dipertegas lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Eenergi dan Sumber Daya Mineral.
Pasal 3 PP Nomor 25 Tahun 2021 menyebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas batu bara yang melakukan kegiatan Peningkatan Nilai Tambah Batu Bara di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen.
Royalti dimaksud merupakan iuran yang wajib dibayarkan pengusaha kepada Negara, setelah mengeruk sumber daya mineral dan batu bara. Royalti merupakan bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pemberian insentif royalti 0 persen berkenaan dengan program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah batu bara yang dicanangkan pemerintah.
Secara lebih rinci, pengusaha yang melakukan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah batu bara, di antaranya mulai dari industri coal upgrading, mengolah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batu bara hingga briket batu bara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalti.
Direktur Pertambangan dan Energi Yayasan Auriga Nusantara, Muhammad Iqbal Damanik mengatakan, kendati penghapusan royalti ini bersifat insentif, penghapusan tersebut jelas bermasalah. Karena penghapusan royalti ini akan membuat penerimaan Negara berkurang.
Iqbal menguraikan, pada 2018, Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp180 triliun. Pendapatan dari pertambangan mineral dan batu bara (minerba) menyumbang sekitar 17 persen dari jumlah tersebut.
"Secara khusus PNBP dari royalti batu bara pada 2018 mencapai Rp21,854 triliun. Jadi jika royalti dihapuskan, maka triliunan rupiah jelas berpotensi akan lenyap," kata Iqbal, Rabu (24/2/2021).
Royalti 0 Persen Untungkan Perusahaan Milik Para Oligark Batu Bara
Iqbal menjelaskan, 2020 lalu koalisi #bersihkanindonesia menemukan sejumlah proyek hilirisasi dan peningkatan nilai tambah batu bara yang diduga akan mendapat manfaat langsung dari pasal ini, baik dalam cakupan 6 bulan terakhir maupun proyek yang sedang dan masih eksisting. Di antara proyek itu juga terhubung dengan aktor-aktor di Satuan Tugas (Satgas), Panitia Kerja (Panja) maupun pimpinan DPR penyusun UU Cipta Kerja.
Proyek-proyek tersebut terbentang mulai dari proyek dalam perencanaan hingga eksisting. Di antaranya yang sudah diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yaitu:
- Tiga proyek fasilitas coal upgrading di PT. ZJG Resources Technology Indonesia pada tahun 2024, 2026, dan 2028, dengan kapasitas masing-masing sebesar 1,5 juta ton per tahun.
- Proyek gasifikasi batu bara atau proyek coal to Dimethyl Ether (DME). Proyek ini akan dikerjakan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk. (PT BA) yang direncanakan akan beroperasi pada 2024.
- Proyek gasifikasi batu bara dalam bentuk coal to methanol yang akan dikerjakan oleh PT Kaltim Prima Coal.
- Proyek pembuatan briket, PT Batubara Bukit Asam akan melakukan penambahan pabrik briket pada tahun 2026 dan 2028 dengan kapasitas 20.000 ton per tahun.
- Proyek cokes making, PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) di Kalimantan Utara menargetkan penambahan dua fasilitas cokes making pada tahun 2026 dan 2028 dengan kapasitas sekitar 1 juta ton.
Selain itu, imbuh Iqbal, saat ini juga sudah terdapat enam pabrik pengolahan hilirisasi batu bara yang eksisting. Yakni, pertama pengolahan briket PT Thriveni di Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) dengan produk 79.000- 85.000 ton per tahun. Kedua, pabrik pengolahan briket PTBA di Tanjung Enim, Sumsel dengan produksi 10.000-20.000 ton per tahun. Ketiga, pabrik pengolahan briket PTBA di Tarahan, Lampung dengan produk 7.000 ton per tahun. Keempat, PT ZJG Resources Technology yang memproduksi 100.000 ton briket per tahun di Kalimantan Utara. Kelima Semi coking coal plant (semi kokas) dan keenam, semi kokas PT Prima Coal Chemical di Kalimantan Tengah.
Proyek PSN Juga Dapat Untung dari Royalti 0 Persen
Iqbal lebih lanjut mengungkapkan, selain menguntungkan perusahaan-perusahaan milik para oligark batu bara, kebijakan penghapusan royalti atau pengenaan royalti 0 persen ini diduga juga akan memberi keuntungan terhadap proyek-proyek yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Berdasarkan penelusuran terhadap dokumen yang dikeluarkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang berisi daftar 89 PSN, lanjut Iqbal, pihaknya menemukan sejumlah proyek yang berkaitan langsung dengan sektor pertambangan dan mineral-batubara. Diduga proyek PSN ini juga akan mendapatkan keuntungan dari pasal royalti 0 persen, karena berkaitan dengan proyek hilirisasi dan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan mineral dan batu bara.
- Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan, memiliki nilai strategis mendukung hilirisasi industri dan masuk dalam Major Project RPJMN 2020-2024, sedang dalam proses penyusunan FS, senilai Rp45,9 triliun.
- Gasifikasi batu bara menjadi DME, Methanol, dan MEG, Sumsel oleh PT BA. Disetujui di Rakor Menko Perekonomian pada 3 Maret 2020, telah didukung Kementerian ESDM, senilai Rp43,5 triliun.
- Pembangunan fasilitas Coal to Methanol di Kalimantan Timur didukung pengusulannya oleh Kementerian Koordinator (Kemenko) Maritim dan Investasi (Marinvest), senilai Rp29 triliun.
- Kawasan Industri Weda Bay (Indonesia Weda Bay Industrial Park), proyek ini didukung oleh Kemenko Marinvest. Pengusul proyek ini diketahui dari pihak swasta, yakni Direktur PT Indonesia Weda Bay Industrial Park, senilai Rp70 triliun.
- Kawasan Industri Pulau Obi, kegiatan industri pengolahan dan/atau Pemurnian bijih nikel dan mineral pengikutnya beserta sarana pendukungnya. Proyek ini berada di dalam kawasan industri dan masih memerlukan revisi RTRW. Proyek ini didukung oleh Kemenko Marinvest, dan juga diusulkan swasta oleh Direktur PT Trimegah Bangun Persada, senilai Rp31,32 triliun.
- Program pembangunan Smelter. Merujuk kepada kesepakatan Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian. Lokasi smelter di Provinsi Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur, senilai lebih dari Rp209 triliun.
- Smelter PT Sungai Raya Nickel Alloy Indonesia, diusulkan oleh Bupati Konawe Selatan, didukung pengusulannya oleh Kemenko Marinvest senilai Rp14,04 triliun.
- Smelter PT Alchemist Metal Industry, diusulkan oleh Bupati Halmahera Selatan, seluruhnya didukung pengusulannya oleh Kemenko Marinvest, senilai Rp4,04 triliun.
Insentif Royalti 0 Persen, Eksploitasi 100 Persen, Dampaknya bagi Pendapatan Daerah
Iqbal melanjutkan, pihaknya juga menemukan nama-nama perusahaan tambang batu bara yang diduga akan diuntungkan dari pasal royalti 0 persen. Yang mana selama ini perusahaan-perusahaan tersebut merupakan penyetor royalti terbesar ke Negara dari sektor batu bara.
"Dampak dari pasal ini (royalti 0 persen) akan menyebabkan Negara kehilangan pendapatan drastis dari royalti dan membuat perusahaan batu bara dapat mengamankan uangnya di kantong sakunya masing-masing," kata Iqbal.
Pada tahun 2017, tiga perusahaan batu bara juga tercatat sebagai pemberi royalti terbesar, yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC) , PT Adaro Indonesia, dan PT Bukit Asam Persero Tbk. Sementara pada tahun 2019, tiga perusahaan batu bara yang juga pemberi royalti dan PNBP terbesar yaitu PT KPC sebesar Rp6,5 triliun, PT Adaro Indonesia sebesar Rp5 triliun dan PT Kideco Jaya Agung sebesar Rp3,3 triliun.
"Bahkan dampak pengenaan royalti 0 persen ini bisa berdampak kepada daerah, provinsi-provinsi termasuk Kalimantan Timur. Dana bagi hasil (DBH) minerba ke daerah yang selama ini menjadi wilayah pengerukan dapat berkurang drastis. Sementara pada saat bersamaan, perusahaan tambang batu bara terus mengeksploitasi daerah tanpa jeda."
Menurut Keputusan Menteri ESDM Nomor 201K/80/MEM/2019 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan DBH SDA Pertambangan Minerba untuk Tahun 2020, total DBH bagi seluruh provinsi sebesar Rp25,65 triliun. Kalimantan Timur memperoleh DBH terbesar yakni Rp9,33 triliun, Kalimantan Selatan memperoleh Rp6,58 triliun dan Sumsel Rp1,95 triliun.
Dari Rp9,33 triliun DBH Minerba yang didapatkan Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Timur menerima dana terbesar, yakni Rp3,03 triliun. Terbesar kedua adalah Kutai Kartanegara Rp2,83 triliun dan ketiga adalah Berau Rp1,72 triliun.
Bukan cuma daerah penghasil batu bara, karena perhitungan DBH adalah keseluruhan pertambangan termasuk yang non-batubara, daerah seperti Papua pun akan mendapat dampak dari menurunnya penerimaan negara akibat insentif royalti hingga 0 persen ini. Dana Bagi Hasil Papua Rp2,19 triliun misalnya.
"Bahkan 32 provinsi penghasil tambang dan minerba lainnya pun akan terdampak. Dari sini terlihat bagaimana perusahaan batu bara penyetor royalti yang dihuni oleh figur-figur aktor penyusun UU Cipta Kerja kembali mendulang untung. KPC, Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung dan Bukit Asam merupakan perusahaan batu bara yang terhubung kembali dengan barisan para oligark batu bara."
Selain membuat uang royalti kembali ke kantong saku perusahaan karena insentif royalti, tambah Iqbal, keuntungan diduga juga akan mengalir kepada aktor-aktor di balik PT KPC. Seperti klan keluarga Bakrie termasuk kemungkinan para operator kepentingannya seperti Rosan Roeslani, Lamhot Sinaga dan Bobby Gafur Umar, semuanya punya sejarah dan tali-temali dengan perusahaan- perusahaan Bakrie.
"Pada PT Adaro Indonesia, keuntungan dan manfaat juga diduga mengalir pada klan keluarga Thohir-Garibaldi dan Erick Thohir. Sementara di PT Kideco Jaya Agung, peran Arsjad Rasjid dalam Indika Energy, juga berpotensi menjadi penerima manfaat," tutup Iqbal.
SHARE