BRG Hanya Supervisi Restorasi Gambut Perkebunan, Kapan Giliran HTI?
Penulis : Redaksi Betahita
Karhutla
Senin, 25 November 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Supervisi yang hanya dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG) terhadap kegiatan restorasi gambut di perusahaan perkebunan sawit dipertanyakan. Pasalnya, BRG tidak mempunyai kewenangan melakukan supervisi di kawasan Hutan Tanaman Industri, yang juga banyak mengalami kebakaran.
Ahli kebakaran hutan IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo mempertanyakan adanya keterbatasan pelaksanaan fungsi supervisi BRG terhadap area konsesi. BRG memang telah mempunyai fungsi supervisi di area konsesi. Area konsesi juga cukup banyak yang menjadi target restorasi BRG. “Sayangnya, saat ini BRG baru bisa melakukan supervisi di area konsesi perkebunan. Bukan di area konsesi kehutanan,” kata Bambang.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitritidak menampik bahwa supervisi BRG saat ini baru dilakukan pada perusahaan perkebunan. “Kami mempunyai MoU dengan Dirjen Perkebunan untuk menjalankan supervisi ini,” katanya.
Supervisi yang dilakukan BRG bertujuan memberi asistensi teknis kepada perusahaan untuk membangun infrastruktur restorasi hidrologi dengan baik. Supervisi ini adalah salah satu fungsi yang dimandatkan Perpres No. 1/2016.
Hasil pemantauan LSM lingkungan Auriga Nusantara, menunjukkan bahwa terdapat 9.925 titik api (hotspot) dari 13.069 hotspot dalam kawasan hutan, 9.295 di antaranya berada di wilayah Kawasan Hidrologis Gambut (KHG).
Sementara di Area Penggunaan Lain (APL), dari keseluruhan 6.784 hotspot, 4.263 di antaranya merupakan KHG. “Fakta ini mengkhawatirkan mengingat KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutaban) sendiri baru saja menerbitkan P.10 (Peraturan Menteri KLHK) Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut yang justru mengurangi proteksi terhadap hidrologis gambut,†kata Direktur Hutan Auriga, Mumu Muhajir.
Mumu menambahkan dalam peraturan tersebut cakupan proteksi dikurangi dari kubah gambut yang harus dilindungi menjadi hanya puncak gambut.
“Tidak konsisten kan. Di sisi lain, kita cegah karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan kita ikut proses menurunkan emisi gambut. Pada saat yang sama dibuat peraturan yang memperkecil wilayah yang dilindunginya,†ujarnya.
Menurutnya, peraturan ini akan menghambat upaya pemadaman dan pencegahan karhutla di lahan gambut. Selain itu dari 7.343 hotspot di Konsesi, sebanyak 48persen (3.528 hotspot) yang berada dalam kawasan prioritas restorasi gambut.
Ia juga mendesak transparansi data mengenai kawasan hidrologis gambut dan informasi-informasi lain terkait restorasinya. “Ketika kita ingin tahu perusahaan mana yang harus melakukan restorasi gambut, kita nggak pernah dapat (datanya),†ujarnya.
Mumu mempertanyakan komitmen KLHK dan Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam mendorong pemulihan ekosistem gambut. Selain itu, ia juga berharap KLHK menyusun peta rawan api sebagai langkah antisipasi menghadapi musim kemarau dan siaga di area rawan-rawan api tersebut.
“Kalau kita tunjuk perusahaan sebagai pelaku, oke legitimate (sah). Tapi kita harus bertanya kenapa karhutla banyak di wilayah-wilayah yang tak ada izinnya dan dipegang oleh pemerintah,†katanya.
Badan Restorasi Gambut (BRG) mulai melakukan supervisi terhadap kegiatan restorasi gambut 16 perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) di lima provinsi.
Baca juga: Koalisi Anti-Mafia Hutan: Industri Pulp Perparah Risiko Karhutla
Restorasi gambut di areal konsesi bersifat mandatori. Menurut Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, BRG memiliki tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi lahan gambut di tujuh provinsi yang luasnya 2,4 juta hektare, di mana 1,4 juta hektare di antaranya berada di area konsesi. Restorasi ditujukan untuk mencegah kebakaran lahan gambut.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri mengatakan bahwa supervisi telah dilakukan sejak tahun 2018 yang lalu. “Sampai Juli sudah 20 perusahaan perkebunan yang disupervisi oleh Tim ahli BRG. Kami terus lakukan supervisi. Agustus ini ada enam perusahaan lain,” katanya saat dihubungi Jum’at 22 November 2019.
Menurut Myrna A Safitri, total areal konsesi dalam target restorasi BRG yang disupervisi hingga April 2019 sudah mencapai 242.260 hektare.
Target kegiatan supervisi dalam peta indikatif restorasi gambut di kawasan lindung mencapai 491.791 hektare, di kawasan berizin seluas 1.784.353 hektare, di kawasan budi daya tidak berizin seluas 400.457 hektare.
Menurutnya, BRG memulai supervisi restorasi lahan gambut tersebut dengan uji coba yang dilakukan September 2018 pada dua perusahaan HTI dan 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Supervisi pada lahan gambut milik perusahaan pengelola HTI supervisi dilakukan pada lahan PT Wana Subur Lestari dengan luas konsesi 11.282 hektare dan PT Mayangkara Taman Industri dengan luas konsesi 12.024 hektare.
Sementara supervisi pada perusahaan perkebunan sawit antara lain mencakup lahan milik PT Bahana Karya Semesta (2.391 hektare), PT Primata Kreasi Mas (5.200 hektare), PT Kresna Duta Agro (4.358 hektare), PT Riau Sakti United Plantation (12.064 hektare), PT Riau Sakti Trans Mandiri (6.292 hektare), PT Cakung Permata Nusa (4.773 hektare), dan PT Banyu Kahuripan Indonesia (9.368 hektare).
Supervisi juga dilakukan pada lahan PT Surya Cipta Kahuripan (4.212 hektare), PT Persada Dinamika Lestari (802 hektare), PT Bumi Palma Lestari Persada (6.142 hektare), PT Kimia Tirta Utama (1.270 hektare), PT Guntung Idaman Nusa (14.548 hektare), PT Tabung Haji Indo Plantations (45.229 hektare), dan PT Inti Agro Makmur (9.696 hektare).
Pada 2015, kebakaran dan kabut asap diperkirakan menghanguskan 2,6 juta hektare yang menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 220 trilyun dan penyebab kematian dini terhadap lebih dari 100.000 orang. Beberapa tempat yang mengalami kebakaran terparah berada di dalam konsesi HTI.
Menurut, Prof Dr Bambang Hero Saharjo M Agr, Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan, sangat penting untuk menjaga lahan gambut tetap basah. Kebakaran di permukaan tidak akan bisa menembus gambut yang basah. Dengan begitu, kebakaran hutan dan lahan tidak akan menyebar luas. “Kalau gambut terbasahi dengan baik, maka akan mengurangi kemungkinan kebakaran lahan gambut yang meluas,” katanya seperti dikutip dari tempo.co Jum’at 22 November 2019.
Terkait penyebab terjadinya kebakaran di lahan gambut, Prof Bambang yakin bahwa kebakaran terjadi karena ada pemicunya. “Lahan gambut tidak bisa terbakar dengan sendirinya. Pasti ada pemicunya, pasti ada yang membakar,” katanya.
SHARE