Data HGU Dilarang Dibuka ke Publik, Bertentangan dengan MA
Penulis : Redaksi Betahita
Analisis
Selasa, 14 Mei 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Peneliti Divisi Kebijakan dan Politik Agraria Pusat Studi Agraria Intitut Pertanian Bogog (PSA-IPB), Linda Rosalina, mengatakan surat edaran Kemenko Perekonomian agar data dan informasi Hak Guna Usaha perkebunan sawit tidak dibuka ke publik, melupakan proses panjang yang ditempuh sejumlah pihak untuk mengupayakan informasi terkait data HGU tidak termasuk dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan menurut UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Baca juga: Menanti Komitmen Jokowi Buka Dokumen HGU
“informasi HGU adalah informasi yang terbuka untuk publik,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis 9 April 2019 lalu.
Pada 6 Mei 2019 lalu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian menerbitkan surat perihal data dan informasi terkait kebun kelapa sawit. Surat ditujukan kepada tiga pihak, pertama Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit. Intinya, surat ini menyatakan informasi Hak Guna Usaha (HGU) khususnya HGU perkebunan kelapa sawit tidak bisa diakses publik.
Menurut Linda, Mahkamah Agung melalui keputusan No 121 K/TUN/2017. membatalkan hasil uji konsekuensi yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Melalui putusan itu juga, MA menetapkan bahwa informasi HGU yang rinciannya terdapat nama pemegang izin HGU, tempat atau lokasi, luas HGU, jenis komoditi, dan peta area yang dilengkapi titik koordinat dinyatakan terbuka.
Linda menilai kebijakan Kemenko Perekonomian sebagai tindakan yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung. Surat Kemenko Perekonomian yang dikeluarkan untuk sejumlah perusahaan dan asosiasi pengusaha kelapa sawit tersebut seolah tidak menggubris putusan Mahkamah Agung dan beberapa putusan Komisi Informasi Pusat yang secara khusus mengatur keterbukaan informasi data HGU.
Linda Rosalina menyayangkan maksud diterbitkannya surat Kemenko Perekonomian. Sejumlah kebijakan yang disebutkan dalam poin pertama surat seperti pelaksanaan satu peta, kemudian adanya Perpres Reformasi Agraria, dan beberapa hal lainnya menurut Linda mengandung semangat untuk mewujudkan tata kelola sawit yang lebih baik. Hal ini bisa tercapai dengan ditopang oleh partisipasi masyarakat maupun diakomodirnya transparansi, salah satunya informasi.
"Aku tidak melihat logika dari surat yang dilayangkan oleh Kemenko itu," katanya.
Surat Kemenko Perekonomian itu sendiri menyebutkan bahwa, dalam rangka melaksanakan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan menindaklanjuti hasil pertemuan Pemerintah Indonesia dengan Komisi Uni Eropa terkait kebijakan kelapa sawit, maka Pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan untuk pelaksanaan praktek perkebunan kepala sawit yang berkelanjutan melalui sejumlah poin kebijakan.
Untuk itu, demi melaksanakan komitmen pemerintah tersebut diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan kelapa sawit, termasuk dalam melindungi data dan informasi kelapa sawit yang berisfat strategis bagi ketahanan ekonomi nasional dan dalam rangka perlindungan kekayaan alam Indonesia.
Untuk itu, kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait agar mengklasifikasikan serta menetapkan data dan informasi mengenai hak guna usaha kebun kelapa sawit sebagai infromasi yang dikecualikan untuk dapat diakses oleh pemohon informasi publik sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan informasi publik.
"Sehubungan dengan hal tersebut, kami harapkan saudara untuk dapat pula ikut serta dalam mendukung kebijakan untuk melindungi data dan informasi kelapa sawit tersebut dan diharapkan untuk tidak melakukan inisiatif membuat kesepakatan dengan pihak lain (konsultan, NGO, multilateral agency, dan pihak asing) dalam pemberian data dan informasi yang terkait kebun kelapa sawit," bunyi surat Kemenko Perekonomian.
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, sepanjang 2013-2018, Kementerian ATR/BPN sudah 11 kali diadukan kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua, semua putusan Komisi Informasi Publik (KIP) agar pemerintah membuka data.
"Urgensi keterbukaan HGU ini bukan kepentingan segelintir pihak, ini kepentingan masyarakat Indonesia," kata Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye FWI dalam keterangan resminya. Berdasarkan analisa FWI, dari 19.224.576 hektar, terdapat 14.861.669 hektar atau 77% lahan memiliki IUP tetapi tak ada HGU.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah membuka data kepemilikan tanah negara, termasuk HGU. "Karena areal (HGU), diputus bahwa HGU itu informasi yang bisa diakses publik. Gimana kita mau kontrol HGU yang akan jatuh tempo," kata Alamsyah Saragih, Komisioner ORI, awal Maret lalu.
Dia mengatakan, sebagian HGU, katanya, akan jatuh tempo, di tahun 2023-2024 menjelang pemilu serentak. Hal itu bisa terawasi kalau informasi dibuka ke publik. "Berdasarkan data BPN, banyak jatuh tempo di 2023-2024. Tahun 2023, ada 136 HGU dan 2024 ada 100 HGU," katanya.
Bahkan, political will dari transparansi data terjanjikan melalui kebijakan satu peta namun tidak telalu efektif karena data diakses terbatas pada kalangan tertentu. "Mungkin antar instansi bagus, untuk pengusaha, tapi publik tidak dapat manfaat," kata Alamsyah Saragih, yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Informasi.
SHARE