Apa Kabar Kebijakan Satu Peta?
Penulis : Redaksi Betahita
Konservasi
Selasa, 21 Agustus 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpers) nomor 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional, dalam waktu dekat pemerintah akan menerbitkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy). Kebijakan ini mengintegrasikan 85 peta tematik yang menjadi tanggung jawab 19 kementerian dan lembaga.
Penerbitan Kepres diikuti Perpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Kebijakan Satu Peta akan membuat kegiatan ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih efisien.
Adanya satu peta juga akan memudahkan proses perizinan usaha. Sehingga indeks populer seperti ease of doing business (EODB) juga terbantu. Dengan berbasis pada keakuratan data, kebijakan ini dapat mengurangi tumpang tindih pemberian izin yang seringkali menjadi penyebab konflik.
Deputi II Kantor Staf Presiden RI, Yanuar Nugoho, mengatakan Satu Peta dapat diibaratkan seperti infrastruktur dalam menyusun kebijakan. Dengan adanya Satu Peta, perumusan kebijakan termasuk keputusan terkait perizinan dapat berbasis pada data yang akurat.
Basis referensi peta yang sama akan meningkatkan keakuratan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi. Kondisi ini akan memberikan kepastian dalam usaha. “Evidence atau informasi geospasial yang baik diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memangkas waktu pemberian berbagai tipe perizinan,” kata Yanuar dalam keterangan resminya.
Dengan Kebijakan Satu Peta diharapkan logistik yang menyangkut jarak, ruang dan infrastruktur bisa lebih efisien. Selain itu peringkat Logistic Performance Index Indonesia juga diharapkan bisa semakin membaik. Dengan berbasis pada keakuratan data, Kebijakan Satu Peta ini dapat mengurangi tumpang tindih pemberian izin yang seringkali menjadi penyebab konik.
Hasanuddin Z Abidin, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) mengatakan, kementerian yang belum menyerahkan data geospasial adalah Kementerian Pertahanan (Kemenhan). BIG dapat memaklumi lantaran terdapat begitu banyak data sensitif sehingga butuh perlindungan khusus.
“Di Kemenhan ada banyak sekali data yang harus dilindungi. Lalu ada juga soal keamanan data-data jadi butuh perlakuan khusus,” katanya seperti dilansir Katadata di Jakarta, Senin (13/8).
BIG menyatakan tantangan utama yang dihadapi dalam pengelolaan data geospasial ialah metodologi, format, dan standar yang berbeda-beda. Ketidakseragaman ini bisa menimbulkan perbedaan pemahaman dan penafsiran antarpihak.
Hasanuddin menambahkan, simpul jaringan di dalam peta bisa dikatakan belum optimal. Perbedaan format, standar, dan ditambah belum optimalnya jaringan di dalam peta dapat berujung kepada pembangunan di Indonesia berjalan dengan mengacu kepada data yang salah.
Guna mengimplementasikan Kebijakan Satu Peta (KSP) maka seluruh kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah perlu memiliki unit yang fokus memproduksi serta menyebarluaskan informasi geospasial. Dukungan teknologi juga tidak bisa diabaikan supaya menghubungkan geospasial nasional dengan peta tematik geospasial.
“Perlu ada standar data geospasial pada lembaga maupun pemerintah (yang sama). KSP juga tidak bisa berjalan tanpa dukungan SDM yang memadai,†ungkapnya.
Namun, kenyataannya, BIG kekurangan sumber daya manusia (SDM) sedikitnya 20.000 orang untuk mengelola geospasial ini. Kondisi ini memperbesar celah bagi tenaga ahli asing masuk dan memperkecil kesempatan SDM lokal. “Nanti, akan dilakukan pelatihan dan pendidikan vokasi yang dibiayai APBN,” ujarnya.
SHARE