Rencana Menteri Budi untuk Melemahkan SVLK Bahayakan Ekspor Kayu
Penulis : Aryo Bhawono
Deforestasi
Selasa, 03 Juni 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah menderegulasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) mengancam ekspor produk kayu dari Indonesia. Langkah ini dianggap akan melemahkan ekspor produk kayu Indonesia karena penghapusan syarat V Legal ini membuat kepercayaan pasar jatuh.
Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Jawa Tengah mengungkapkan, mereka merasa khawatir dengan rencana Menteri Perdagangan Budi Santoso untuk menghapus persyaratan V-Legal khusus untuk ekspor furnitur dan kerajinan. Mereka menyebutkan para pembeli pasar global telah mengenal baik kesahihan dokumen V-Legal Indonesia.
Sekretaris Asmindo Jawa Tengah, Yana Maya, menyebutkan sudah lebih dari satu dekade ini sertifikat legal Indonesia diberlakukan dalam ekspor produk kayu. Bukti legalitas ini telah membuat ekspor produk kayu Indonesia mendapat pengakuan dan nilai yang tinggi.
Kini SVLK bisa dikatakan sejajar dengan sertifikasi internasional lainnya seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan diakui oleh lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT/ dokumen yang diterbitkan oleh negara-negara penghasil kayu yang telah meratifikasi Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan UE).

“Kami mendengar SVLK akan dilemahkan, lalu apakah akan membuat kemunduran? Bagi kami Ini kemunduran apalagi menghadapi EUDR (European Deforestation Regulation), pelemahan ini adalah ancaman. SVLK kita cukup akurat karena mencakup geolokasi. Kalau dilemahkan maka kita jalan dari nol lagi,” kata dia dalam diskusi di Jakarta pada Rabu (28/5/2025).
Usul deregulasi SVLK sendiri diutarakan oleh Menteri Perdagangan, Budi Santoso, saat peluncuran Indonesia International Furniture Expo (IFEX) di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat pada Rabu lalu (21/5/2025). Ia berdalih deregulasi ini untuk meningkatkan ekspor furnitur ke negara lain.
Budi menyebutkan persyaratan V-Legal produk kayu menyesuaikan negara tujuan ekspor. Ekspor tujuan negara eropa harus menyertakan persyaratan V-Legal, lainnya tidak perlu.
Industri pengolahan kayu sonokeling primer di Sumbawa. Foto: Kaoem Telapak
Usul deregulasi diajukan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Ketua HIMKI, Abdul Sobur, menyebutkan lembaganya menolak beban administratif yang tidak proporsional.
Ketua Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI), Kurnia, dalam diskusi bersama Yana, menyebutkan proses verifikasi SVLK dilakukan menyeluruh dari hulu sampai hilir. Verifikasi ini cukup kompleks karena memberikan kepastian kepada pasar bahwa kayu ataupun produk turunannya dijamin legal, jelas asal-usulnya (tertelusur), dan berasal dari hutan lestari.
Selama ini SVLK menjadi sarana memperbaiki tata kelola kehutanan Indonesia, meningkatkan daya saing produk perkayuan, mengurangi praktek illegal logging dan illegal trading, serta meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ia menyebutkan proses administratif tidak rumit karena teknis dan biaya penerbitan dirancang dengan dengan regulasi yang sederhana (diproses oleh sistem), cepat (bisa terbit dalam 1 x 24 jam sejak surat permohonan diajukan), dan murah (bahkan untuk UMKM difasilitasi biayanya oleh Kementerian Kehutanan).
Kemungkinan, kata dia, pengusaha kecil merasa keberatan pada proses pada pelaksanaan audit penilikan untuk mempertahankan S-Legalitas (surat keterangan produk atau proses telah memenuhi standar legalitas). Audit ini meliputi pemenuhan persyaratan pemenuhan persyaratan pengelolaan lingkungan hidup, meliputi laboratorium udara ambien, air limbah, dan emisi, termasuk pengurusan izin limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
“Kemungkinan pada bagian ini yang membuat mereka keberatan karena membutuhkan biaya besar. Biaya yang dikeluarkan semakin besar jika frekuensi penilikannya tinggi,” kata dia.
Ia pun menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan relaksasi regulasi audit penilikan kepada UMKM di hilir, khususnya yang melakukan ekspor. Relaksasi ini dapat berupa keringanan frekuensi kegiatan audit penilikan selama masa berlaku sertifikat dan persyaratan pemenuhan terkait pengelolaan lingkungan hidup di lokasi Industri.
Pakar Kehutanan, Diah Suradiredja, mengingatkan pemerintah bahwa SVLK telah menempatkan kayu dan produk kayu sebagai komoditas legal dan berkelanjutan sehingga memiliki keunggulan kompetitif. Pelemahan SVLK justru membuat Indonesia terjebak dalam pasar bernilai rendah dan kehilangan posisi tawarnya. Padahal, negara lain, selaku kompetitor, tengah membangun sistem legalitas.
Vietnam misalnya, membangun Vietnam dengan sistem Vietnam Timber Legality Assurance System (VNTLAS) dengan kerangka FLEGT untuk pasar premium di Eropa dan Asia Timur.
Malaysia memiliki Malaysian Timber Certification Scheme (MTCS), diakui oleh Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) yang mempromosikan sertifikasi berbasis kelestarian.
Sedangkan Afrika Tengah dan Barat mengembangkan sistem regional untuk memastikan ekspor mereka memenuhi standar EUDR.
“SVLK ini membangun brand kayu legal yang kompetitif. Pelemahannya justru menjebak Indonesia pada pasar bernilai rendah sekaligus membuat Indonesia kehilangan pamor sebagai pelopor tata kelola hutan yang kredibel,” kata dia.
Ia juga menekankan penerapan V-Legal secara parsial untuk negara-negara tertentu juga keliru. Soalnya, ada kemungkinan di negara tujuan yang tidak menerapkan V-Legal akan ekspor lagi ke Eropa atau AS.
Juru Bicara Senior Kaoem Telapak Denny Bathara, menyebutkan upaya melakukan deregulasi semacam ini telah dilakukan berkali-kali oleh pemerintah, yakni pada 2016 dan 2020. Dan peringatan yang sama juga dilontarkan karena membahayakan produk kayu maupun hutan Indonesia sendiri.
Ia menyebutkan sistem SVLK yang saat ini berjalan pun menunjukkan berbagai upaya pelanggaran hukum yang dilakukan oknum pelaku usaha. Misalnya saja penyalahgunaan syarat ekspor hingga pencampuran kayu ilegal dengan yang legal.
“Ini menunjukkan sistem berlapis ini pun masih ada celah. Yang ini harusnya diperkuat,” jelasnya.
SHARE