Proyek Gas Hambat Indonesia Penuhi Komitmen Perjanjian Paris

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Sabtu, 15 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Indonesia punya cadangan gas yang besar dengan kebutuhan biaya pengembangan infrastruktur mencapai USD32,42 miliar. Walau begitu, laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia justru menemukan bahwa pengembangan proyek gas bisa menghambat Indonesia memenuhi komitmen Perjanjian Paris.

Sebab emisi dari penggunaan gas, khususnya metana memiliki dampak signifikan pada kerusakan iklim, menghambat upaya Indonesia bertransisi ke sumber energi terbarukan yang lebih bersih, dan terus mendorong ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Pembiayaan proyek gas melibatkan lembaga keuangan layaknya Multilateral Development Banks (MDBs) seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group. Namun begitu, sokongan tersebut mencerminkan ambiguitas pemenuhan komitmen iklim bank-bank tersebut. Pasalnya, mereka telah mengeluarkan kebijakan daftar pengecualian pendanaan untuk energi kotor, termasuk gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG).

“Kami melihat pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia,” kata Diana Gultom dari debtWatch Indonesia, dalam sebuah rilis, Jumat (14/3/2025).

Fasilitas perusahaan minyak dan gas milik ExxonMobil. Dok Shutterstock

Diana melanjutkan, dengan ekspansi LNG, Indonesia diarahkan untuk tetap menjadi eksportir gas bagi negara maju, bukan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. Menurutnya hal tersebut bukanlah kedaulatan energi, tetapi eksploitasi ekonomi yang dikemas dalam retorika transisi energi.

Pemerintah terus berencana untuk mengembangkan infrastruktur gas sejak gas cair kali pertama digunakan di Indonesia pada 1960-an, apalagi saat ini pemerintah mempromosikan penggunaan gas sebagai upaya transisi energi. Pemerintah mencanangkan pengintegrasian gas sebagai bagian transisi energi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang pemanfaatannya dalam bauran energi primer akan terus meningkat hingga 2060.

“Dalam forum internasional pemerintah memoles citra dengan menyatakan akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, namun dalam kebijakan nasional pemerintah justru memasukkan gas dalam kerangka kebijakan transisi energi sebagai ‘jembatan transisi’ yang akan membawa kita semakin jauh dari target pencapaian penurunan emisi,” ujar Novita, juru kampanye energi fosil Trend Asia.

Menurut Novita, hal tersebut berpotensi mencekal upaya dekarbonisasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Apalagi emisi metana dari pembakaran bahan bakar fosil bertanggung jawab sekitar 30 persen atas naiknya temperatur global sejak revolusi industri.

SKK Migas, imbuh Novita, mencatat Indonesia memiliki cadangan gas terbukti sebesar 54,76 triliun Standard Cubic Feet (TSCF). Laporan bertajuk “Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim” menunjukkan terdapat 18 proyek gas dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua serta beberapa proyek PLTG.

Berikut beberapa proyek gas LNG dengan estimasi investasinya:

  1. Proyek Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP) Indonesia menerima investasi dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi investasi sekitar 8 miliar USD. Tangguh LNG merupakan proyek LNG terbesar di Indonesia yang memproduksi dan mengekspor gas cair.
  2. Bontang LNG di Kalimantan Timur, dioperasikan oleh Pertamina, menerima dana dari ADB, HSBC dengan estimasi investasi USD4 miliar. Proyek ini merupakan salah satu fasilitas pengolahan LNG terbesar di dunia.
  3. Proyek LNG Abadi (Blok Masela) di Laut Arafura, Maluku oleh Inpex Corporation memiliki estimasi investasi USD19,8 miliar dari JBIC dan KEXIM. Proyek ini masih dalam tahap perencanaan dan perizinan. Blok Masela merupakan salah satu proyek gas alam terbesar di Indonesia dengan fasilitas LNG darat.
  4. PLTG Arun di Aceh dan Bangkanai, Kalimantang Tengah yang dikelola PLN menerima dana pembangunan proyek dari Bank Standard Chartered senilai EUR160 juta atau setara Rp2,6 triliun. Kapasitas masing-masing PLTG sebesar 184 MW dan 155 MW. Masing-masing menggunakan 19 mesin dan 16 mesin berbahan bakar LNG.

“Jika pemerintah masih membuka ruang untuk terus mengeksploitasi gas maka trajektori pelepasan emisi akan semakin melonjak hingga dekade mendatang. Selain itu akan menyisakan sedikit ruang energi terbarukan berkembang,” ucap Novita.

Emisi metana sepanjang rantai pasok penggunaan gas menjadi paradoks dengan komitmen beberapa bank tersebut yang sempat menyatakan akan menyelaraskan Perjanjian Paris dalam pendanaan proyek energi untuk membantu negara ketiga, seperti Indonesia.

WBG menargetkan penyelarasan 100 persen pada operasi barunya per 1 Juli 2023. Anak usaha dari WBG, IFC dan MIGA, masing-masing menargetkan penyelarasan 85 persen pada operasi barunya per 1 Juli 2023 dan 100 persen untuk operasi barunya pada 1 Juli 2025. ADB menargetkan penyelarasan penuh untuk pendanaan publik pada 1 Juli 2023 dan 85 persen untuk penyelarasan pendanaan privat 1 Juli 2023. AIIB menyatakan penyelarasan pendanaan secara penuh pada pertengahan Juli 2023.

Kebutuhan biaya yang besar untuk pengembangan infrastruktur gas kerap diiringi dampak buruk, seperti korupsi dan inefisiensi tata kelola dalam pembangunan proyek, sengketa geopolitik, pelanggaran HAM di wilayah eksplorasi, dan pencemaran lingkungan yang merugikan ekosistem maupun masyarakat setempat.

Nilai investasi miliaran dolar untuk proyek gas juga membuka celah praktik korupsi yang besar. Sebelumnya, KPK sempat menetapkan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan LNG pada periode 2011 - 2021. Alih-alih mengalirkan dana untuk proyek energi yang mengunci Indonesia pada penggunaan energi kotor, dana tersebut dapat ditujukan untuk pengembangan proyek berbasis energi terbarukan.

“Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi energi bersih dan terbarukan. Air, matahari, angin, laut, dll. adalah sumber yang tidak akan habis dijadikan sumber energi. Kita harus berani keluar dari skema pengadaan energi fosil dan berorientasi bisnis dan mega-proyek semata. Pengelolaan energi yang berorientasi pada kebutuhan warga dan kelestarian lingkungan hidup penting dan genting untuk dilakukan saat ini,” kata Diana.

SHARE