Korporasi Bermasalah dalam Program Pemutihan Sawit
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Jumat, 21 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sejumlah korporasi yang mendapat pemutihan sawit tercatat bermasalah. Mereka terindikasi menanam di luar wilayah izin, tak memenuhi plasma, hingga terlibat suap.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 36 tahun 2025 Tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Yang Telah Terbangun Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan Di Bidang Kehutanan Yang Berproses Atau Ditolak Permohonannya Di Kementerian Kehutanan memberikan status pemutihan sawit terhadap 436 perusahaan.
Seluas 317.253 hektare kebun sawit ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK. Sedangkan 790.474 ha kebun sawit dalam kawasan hutan tengah berproses dalam penyelesaian untuk memenuhi kriteria Pasal 110 A UU Cipta Kerja.
Pada SK Menhut itu terdapat perusahaan sawit yang melakukan aktivitas kebun yang ilegal di kawasan hutan. Perkebunan itu terdata sebagai perusahaan yang memiliki komitmen besar dalam mematuhi prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan melalui keanggotaan di Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), dua diantaranya adalah Bumitama Group dan Sampoerna Agro Group.

Peneliti Sawit Watch, Bony, menyebutkan selain terindikasi melakukan pelanggaran dengan beraktivitas di kawasan hutan, sejumlah perusahaan menyisakan konflik sosial dengan masyarakat setempat. Sawit Watch mencatat tidak kurang dari 1126 komunitas menuai konflik atas aktivitas perkebunan sawit hingga tahun 2024 lalu.
“Hasil temuan lapangan kami, anak perusahaan grup besar dari grup Bumitama Group dan Sampoerna Agro Group di Kalimantan Tengah merupakan anggota RSPO namun menyisakan persoalan konflik sosial dengan masyarakat dan ditengarai melakukan aktivitas kebun sawit ilegal di kawasan hutan jika merujuk Kepmenhut 36/2025,” kata Bony.
BGA, anak perusahaan Bumitama Group di Kotawaringin Barat, Kalteng diindikasikan melakukan penggarapan lahan di luar izin dan konsesi yang dimiliki. Kebun sawit mereka berada di sempadan sungai dan danau. Pembangunan kebun dan aktivitas perkebunan tersebut berdampak pada mengeringnya sungai dan rawa.
Kebun ini mengakibatkan hilangnya sumber pangan, mengancam habitat satwa, hilangnya jalur transportasi sungai, serta rawan terjadi banjir saat musim hujan.
Selain itu, kata dia, sejumlah ijin dan HGU yang dimiliki pun terindikasi tumpang tindih dengan kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).
Sementara PT SR, anak perusahaan Sampoerna Agro Grup, menyisakan konflik dengan masyarakat Desa Tempayung karena janji kebun plasma. Perusahaan itu terindikasi belum melaksanakan kekurangan kewajiban dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Hingga saat ini masyarakat Desa Tempayung berjuang agar perusahaan menunaikan kewajiban plasmanya.
Dinamika konflik terus terjadi dan berujung pada peristiwa kriminalisasi petani yang memperjuangkan haknya.
“Melihat dua contoh di atas bahwa, sertifikasi berkelanjutan tidak menjamin tata kelola kebun sawit yang bebas pelanggaran prinsip dan kriteria berkelanjutan. Keseriusan berbagai pihak dalam memastikan hal ini tidak terjadi di lapang penting dilakukan,” tambah Bony.
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyayangkan masalah ini. Lembaganya telah melakukan berbagai upaya penolakan atas rencana atau program pemerintah untuk pemutihan sawit (melalui pasal 110A dan 110B UUCK).
Sawit Watch melayangkan gugatan uji materiil PP No. 24 Tahun 2021 di Mahkamah Agung dan kedepan akan berproses gugatan uji materil Pasal 110B di Mahkamah Konstitusi.
“Kami melihat upaya pemutihan ini hanya akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola sawit di Indonesia. Dengan adanya Kepmenhut 36/2025, setidaknya seluas 317.253 hektar yang Kementerian Kehutanan menyatakan penolakan permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK, agar dapat dilakukan penegakan hukum,” kata dia.
Terkait anggota RSPO yang mendapat pemutihan namun bermasalah, ia menekankan lembaga itu untuk mengambil langkah tegas. RSPO harus menjaga citranya soal sawit berkelanjutan dan memastikan komitmen anggotanya.
Selain itu, penting bagi RSPO untuk melakukan pemantauan prinsip dan kriteria RSPO dapat dijalankan sepenuhnya di akar rumput.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan tak hanya dua perusahaan itu saja yang bermasalah. Ia menyebutkan, pada 2019 lalu Managing Director PT BAP divonis 1 tahun 8 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena kasus suap.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan pemutihan sawit dilakukan dengan serampangan. Menurut Roni, pemerintah hanya berkutat dengan soal administratif saja, tanpa mempertimbangkan faktor sawit berkelanjutan.
“Seharusnya pemerintah mempertimbangkan perkara sawit berkelanjutan ketika memberikan pemutihan ini. Misalnya saja soal latar pemenuhan plasma, konflik masyarakat, pelanggaran HAM, karhutla, hingga soal korupsi,” kata dia.
SHARE