Sejumlah Rawan Pelibatan TNI dalam Rehab Hutan - Kritik Walhi
Penulis : Aryo Bhawono
Hutan
Senin, 17 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik kerjasama Kementerian Kehutanan dengan Tentara Nasional Indonesia. Hutan lebih lestari jika dikelola masyarakat lokal dan adat.
Kerjasama Kementerian Kehutanan dan TNI ini dilakukan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di Kantor Kementerian Kehutanan, Rabu (12/2/2025). Penandatanganan nota dilakukan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
"Diharapkan terjalin kerjasama yang lebih baik dan berkelanjutan, rehabilitasi hutan dan lahan serta sosialisi kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup," ujar Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menyebutkan sebelumnya Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan yang memberikan pendekatan militerisme dalam penertiban kawasan hutan. Kini, Menteri Kehutanan memperkuat militerisasi di kawasan hutan dengan kerjasama tersebut.

Kerjasama itu, kata Uli, justru mereduksi tanggungjawab dan kewenangan Kementerian Kehutanan dalam melindungi dan memulihkan hutan.
“Dominasi peran dan tanggung jawab TNI membuat Kementerian Kehutanan tidak lagi relevan,” kata dia.
Kemenhut, ujarnya, menunjukkan ketidakmampuan menjaga dan memulihkan hutan Indonesia. Parahnya, kata dia, TNI juga tidak memiliki pengalaman dalam melindungi dan memulihkan hutan.
Justru selama ini masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang melindungi hutan-hutan Indonesia. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa 70 persen tutupan hutan di wilayah adat masih terjaga dan dalam kondisi baik.
Sementara, data WALHI di Jawa Barat, Bengkulu, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa ketika masyarakat diberikan akses terhadap kawasan hutan, justru mereka berhasil memulihkan tutupan kawasan hutan yang terdeforestasi sebelumnya.
Menteri Kehutanan seharusnya memaksimalkan peran masyarakat yang selama ini telah melakukan kerja-kerja perlindungan dan pemulihan hutan. Pemaksimalan penuh ini hanya bisa dilakukan pertama sekali dengan mengakui hak rakyat atas hutannya, dan mengedepankan pengetahuan serta pengalaman Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang selama ini melakukan perlindungan dan pemulihan.
Menurutnya Kementerian Kehutanan seharusnya belajar ke rakyat untuk jaga hutan, bukan ke TNI.
“Kalau terus menarik-narik TNI ke urusan hutan, Kementerian Kehutanan dibubarkan saja,” kata dia.
Manajer Hukum dan Pembelaan Walhi, Teo Reffelsen, menyebutkan penandatanganan MoU antara TNI dan Kemenhut tersebut bertentangan dengan Peran dan Fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan serta bertentangan dengan Tugas Pokok TNI. Penandatanganan MoU tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) karena membutuhkan prasyarat kebijakan dan keputusan politik negara atau kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR.
Penandatanganan MoU ini tidak juga bisa memakai dalih perbantuan. Perbantuan semestinya dilakukan ketika persoalan yang dihadapi melampaui kapasitas (beyond capacity) otoritas sipil terkait, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Sementara dalam konteks ini, tidak terlihat kondisi-kondisi yang berpotensi memicu ketidaksanggupan Kemenhut dalam menjaga Hutan.
“Seharusnya Kemenhut memaksimalkan peran Polisi Hutan, selain itu banyak juga penelitian yang menyebutkan bahwa Masyarakat Adat dan Lokal di sekitar dan/atau dalam kawasan hutan juga lebih memiliki peranan penting dan memiliki konsep menjaga hutan,” ucap dia.
Pelibatan TNI ini justru membuat Teo khawatir karena beberapa kawasan hutan di Indonesia saat ini masih mengalami konflik tenurial dengan masyarakat. MoU ini akan menggiring TNI berhadapan dengan masyarakat dan berisiko pelanggaran HAM.
SHARE