Kepada Presiden Prabowo: Setop Ganggu Gambut Untuk Food Estate

Penulis : Aryo Bhawono

Gambut

Selasa, 04 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Guru Besar Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Azwar Maas, mengungkapkan pengalaman pemerintah mengelola gambut dengan menjadikannya lahan food estate di Papua telah mengalami kegagalan. Mengutip pembelajaran dari sebuah perusahaan swasta di Papua yang gagal mengembangkan sawit, tebu, dan Hutan Tanaman Industri di Papua, menurut Azwar, membangun food estate di lahan gambut dengan luasan masif harus melibatkan ahli dan membutuhkan proses yang tidak sebentar.

Sayangnya proyek food estate Papua kurang melibatkan banyak ahli, terlalu fokus pada persoalan engineering atau sipil, dan abai pengetahuan tentang tanah. Padahal, jika lahan gambut terlanjur dibuka, kegiatan restorasi tidak mungkin mengembalikan ke kondisi semula. “Lahan gambut di Merauke, Papua yang digunakan sebagai food estate itu bekas rawa lama yang mengalami pengangkatan. Tandanya ada banyak karat besi di permukaan. Ini sama dengan Lampung. Tapi lahan gambut di Lampung sudah lebih dari 100 tahun dimanfaatkan. Sementara, Merauke baru dibuka. Jadi masih banyak yang harus dilakukan,” katanya pada diskusi online terbatas platform Lapor Iklim dan Pantau Gambut pada Minggu (2/2/2025).  

Menurutnya gambut utuh sebaiknya tidak diganggu, terutama gambut yang berkubah. Kubah ini sumber air untuk kesehatan tanah sekitarnya terutama pada musim kemarau. 

Jika kubah gambut ini ikut dibuat saluran drainase atau kanalisasi maka tidak ada lagi pencadangan air. Gambut yang aslinya suka air menjadi tidak suka air dan mudah terbakar. Tumbuhan yang memerlukan air tak dapat hidup wajar dan berproduksi.

Program cetak sawah menjadi bagian dari megaproyek food estate Merauke di Papua Selatan. Dok. Celios

Ia menjelaskan ada beberapa prasyarat untuk memperpanjang usia gambut tersebut. Paling utama adalah menjaga tinggi permukaan air gambut, gambut tidak boleh diberi kapur untuk meningkatkan pH dan gambut tidak boleh dibiarkan terbuka tanpa adanya tanaman penutup (cover crops).

“Gambut harus ada cover crops, ada tumbuhan-tumbuhan rerumputan sehingga gambut itu tidak terbuka di permukaan. Jika tidak ada tanaman penutupnya, maka gambut akan menjadi hidro-phobic, takut air. Ini yang membuat gambut kering dan rentan terjadi kebakaran, ” kata Azwar.

Ia menyebutkan pemerintah Presiden Prabowo sebaiknya menata kembali berbagai peraturan perundangan untuk pelestarian dan pemanfaatan gambut.

Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, mengingatkan penggunaan lahan untuk pertanian hanya boleh dilakukan pada lahan gambut dangkal (kedalaman kurang dari 1 meter) yang telah dibudidayakan sebelumnya atau lahan terlantar. Itu pun harus dilakukan cermat dengan menerapkan teknologi pengelolaan air dan menyesuaikan karakteristik gambut dan jenis tanaman.

“Kalau tidak bisa mengelola, tidak melibatkan ahlinya, maka lahan gambut jangan dibuka sama sekali. Jangan serampangan diubah jadi lahan pertanian. Apalagi lahan gambut lindung yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan cadangan air, ” ujarnya.

Pantau Gambut telah melakukan studi di 30 titik lokasi area pengembangan proyek food estate selama periode 2020-2023 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang berasal dari bekas lahan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto. Lokasi penelitian spesifik berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Metode pemantauan menggunakan analisa kehilangan tutupan pohon, kebakaran hutan dan lahan, serta kesesuaian lahan untuk budidaya padi. Data yang digunakan berasal dari peta kerja proyek, citra satelit, dan pengujian tanah terkait kesuburan serta keasaman lahan gambut.

Daei hasil studi tahun 2024 tersebut terungkap kondisi lahan di lahan gambut yang sudah dibuka hampir seluruhnya tidak sesuai untuk budidaya padi.

“Dari 3 blok eks-PLG Kalimantan Tengah dengan total luas 243.216 hektare, hanya 1 persen yang cocok untuk pertanian, sementara sisanya memiliki kesesuaian sedang hingga rendah. Lahan yang sudah dibuka sebagian besar ditinggalkan dan sebagian lainnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikuasai swasta, ” ucap Iola. 

Pemerintah, kata dia, seharusnya mengutamakan pendekatan swasembada pangan berbasis lokal yang lebih sesuai dengan kondisi lahan gambut, belum tentu padi, dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai subjek utama pengelolaan lahan tersebut, bukan korporasi.

SHARE