Kesehatan Lingkungan Desa Sekitar PLTU Konawe Memburuk

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Senin, 13 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kesehatan lingkungan di empat wilayah kecamatan di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), mengalami degradasi. Hal itu diduga akibat operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (UAP) PT Obsidian Stainless Stell (OSS), yang membuat warga di 4 kecamatan menghadapi paparan polusi udara.

Menurut laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, warga di empat kecamatan itu sehari-hari terpaksa harus beraktivitas dengan menghirup serakan debu. Jelaga batu bara yang dibakar di PLTU itu juga membuat warga harus menyisihkan waktunya membersihkan abu hitam yang mengerubungi rumah, sampai menempel di perabot dapur.

Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoila, Konawe, merupakan salah satu kawasan pemukiman paling terdampak polusi PLTU ini. Abdullah (58), warga desa tersebut, memberi kesaksiannya kepada Walhi Sultra, bagaimana ia dan keluarganya terpaksa harus menanggung pencemaran debu tiap harinya.

Tak hanya itu, saban hari ia juga terganggu suara gemuruh mesin yang beroperasi tanpa henti. Tak mengherankan sebetulnya, sebab rumah panggung tempat tinggal Abdullah hanya berjarak kurang lebih 200 meter dari pusat pembangkit listrik berbahan bakar batu bara PT OSS.

Tampak dari ketinggian PLTU captive milik PT OSS di Kabupaten Konawe, Sultra. Sumber: Walhi Sultra.

PLTU OSS adalah PLTU captive, atau pembangkit yang dioperasikan dan dimiliki sebuah perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri yang berdiri sejak 2018. Kapasitas pembangkit ini mencapai 1.620 megawatt (MW), yang didedikasikan untuk menunjang total kebutuhan daya listrik pabrik pengolahan bijih nikel dalam memproduksi baja stainless steel seri 300 dengan besaran produksi 3 juta ton per tahun.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra, Andi Rahman, mengatakan untuk memenuhi daya listrik sesuai kapasitasnya, PLTU ini membutuhkan konsumsi bahan baku batu bara sebesar 522.936 ton per bulan.

Kebutuhan batu bara juga diperuntukkan sebagai bahan baku pemanas alat pengering dan material pereduksi pada rotary kiln yang menghabiskan sekitar 756.000 ton tiap tahun. Dengan penggunaan untuk 12 line membutuhkan batu bara 63.000 ton per bulan.

“Proses pembakaran batu bara guna menghasilkan setrum listrik membawa kepulan asap keluar membumbung tinggi melewati cerobong. Abu hitam sisa pembakaran itu lantas menyebar dan berakhir menghinggapi lingkungan permukiman yang dihirup warga setiap hari,” kata Rahman, Minggu (12/1/2025).

Kondisi tersebut, lanjut Rahman, menimbulkan masalah kesehatan, salah satu yang kerap terjadi adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Abdullah sendiri pernah mengidapnya pada 2022 lalu.

Rahman bilang, melalui pemeriksaan radiologi, organ paru-paru Abdullah tampak menghitam. Mula-mula Abdullah mengalami gejala sesak napas dan batuk berdarah. Akhirnya dia harus mengonsumsi obat tiga kali sehari rutin selama 6 bulan untuk menyembuhkan penyakitnya.

Saat itu Abdullah dibawa berobat ke klinik dokter spesialis penyakit dalam di Kota Kendari, yang berjarak 50 kilometer dari rumahnya. Akses pengobatan di luar fasilitas layanan kesehatan umum lebih dipilih karena pertimbangan kualitas pelayanan, kendati perlu merogoh biaya tidak sedikit.

“Kalau dirawat di rumah sakit biasa dua, tiga hari baru dokter datang periksa,” kata Rahman, menceritakan ulang kesaksian keluarga Abdullah.

Sepanjang masa pengobatan, lanjut Rahman, Abdullah menjalani pemeriksaan terjadwal dua minggu sekali. Demi bersua dokter, dia menempuh perjalanan sejam lebih menumpang sepeda motor dikendarai putranya. Mereka melintasi separuh jalan hauling jalur kendaraan dump truk yang mengangkut material batu bara dan nikel tanpa menutup bak.

Rahman mengungkapkan, arus pengangkutan batu bara dan nikel turut menyumbang terjadinya pengotoran udara. Desa Tani Indah merupakan satu dari beberapa desa berada di tengah kepungan sarang pencemaran debu.

Di sisi utara desa, debu hitam datang dari operasi pusat pembangkit listrik. Mengarah ke timur terdapat pelabuhan tempat bongkar muat batu bara dan nikel. Sementara arah selatan dan barat menjadi lokasi penumpukan stok cadangan nikel dan material batu bara bekas pembakaran yang menggunung.

“Masifnya penyebaran debu dari empat arah mata angin memicu risiko warga terserang penyakit gangguan pernapasan,” ujarnya.

Rahman menuturkan, menurut laporan riset tim peneliti Universitas Harvard dan Greenpeace 2015 terkait dampak PLTU batu bara, pencemaran debu batu bara dapat menyebabkan paparan zat beracun, ozon dan logam berat.

Laporan ini, imbuh Rahman, menyebut dampak kesehatan dapat disebabkan oleh partikel mikroskopik (PM2,5) yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida dan debu. Pencemaran debu menimbulkan berbagai jenis penyakit di antaranya ISPA akibat partikel halus toksik menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah.

Menurut data Puskesmas Kapoila, penderita ISPA konstan meningkat dalam empat tahun terakhir sejak 2021. Selama kurun waktu itu angkanya dihitung berdasarkan jumlah kunjungan memuncaki daftar 10 besar penyakit ditangani setiap masa setahun pelayanan. Jumlah penyakit ISPA di Kecamatan Kapoila pada 2021 sebanyak 85 kasus, 2022 berjumlah 245 kasus, 2023 ada 549 kasus, dan 2024 sebanyak 352 kasus.

Sementara itu, merujuk hasil analisa Lembaga Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, CREA, dalam laporan bertajuk Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel yang dirilis 2023, PT OSS merupakan perusahaan smelter dengan proyeksi dampak kesehatan tertinggi dari 15 perusahaan smelter tersebar di 10 provinsi Indonesia  bagian timur.

CREA, lanjut Rahman, menganalisa aktivitas korporasi asal Tiongkok itu akan menyebabkan hingga 1060 kematian tahunan akibat polusi udara terkait dengan emisi smelter dan captive power pada 2030. Angka tersebut dihitung berdasarkan kejadian pencemaran tanpa pengendalian emisi yang tepat.

“Salah satu faktor utama di balik hitungan emisi adalah informasi kapasitas produksi per perusahaan dan pembangkit batu bara captive yang dimiliki. Diketahui PT OSS  mempunyai kapasitas produksi 3 juta ton produk baja stainless steel dan 2,2 juta ton ferronickel. Serta 1.620 megawatt PLTU captive,” ujar Rahman.

Masih menurut studinya, CREA menganalisa dampak terkait infeksi saluran pernapasan bawah dan asma dikuantifikasikan terhadap risiko kematian dini akibat polusi udara paparan PM25 dari gas buangan smelter dan PLTU. Referensi perhitungan menggunakan fungsi risiko, paparan terhadap konsentrasi polusi udara dan respons kesehatan.

Rahman menyebut, warga sekitar PLTU PT OSS kini didera kekhawatiran berlipat. Pasalnya, di tengah kian meningkatnya skala denyut kerusakan kesehatan, mereka tidak mendapatkan jaminan perlindungan melalui penyediaan layanan kesehatan yang ditopang fasilitas memadai.

Satu-satunya pusat pelayanan kesehatan di sana, sambung Rahman, hanyalah Puskesmas, itu pun relatif sulit dijangkau bagi warga beberapa desa di Kapoila. Sebab untuk dapat memeriksakan kesehatan warga harus memeras tenaga melewati separuh medan jalan beralas material batu bara bekas pembakaran.

“Menyusul jalan tanah berlubang yang tergenang bila diguyur hujan. Kemudian perjalanan masih dilanjutkan dengan menyeberangi sungai menumpangi perahu pincara,” katanya.

Bukan hanya persoalan akses, pelayanan Puskesmas setempat juga masih terkendala minimnya fasilitas peralatan untuk menangani sejumlah penyakit, termasuk ISPA. Langkah alternatif, kata Rahman, adalah merujuk pasien ke rumah sakit terdekat yang ada di Kota Kendari. 

Menurut warga Desa Tani Indah, lanjut Rahman, penduduk di wilayah paling terdampak aktivitas industri seperti mereka nyaris belum pernah tersentuh perhatian serius terutama menyangkut layanan kesehatan. Padahal, kata dia, di tengah kondisi krusial menghadapi bencana kesehatan, semestinya diimbangi dengan upaya penyediaan fasilitas layanan terdekat mudah diakses yang didukung kelengkapan peralatan medis sesuai kebutuhan penanganan.

“Seharusnya pemerintah menghadirkan fasilitas kesehatan, di satu sisi untuk masyarakat, di sisi lain untuk karyawan yang insiden. Kesulitannya itu jaraknya yang jauh,” ujar Rahman, mengulang harapan yang disampaikan warga.

Selain itu, menurutnya, Dinas Kesehatan mestinya bisa kooperatif memantau kondisi kesehatan warga secara berkala, melalui program pemeriksaan di tempat. Upaya itu bisa sebagai langkah preventif, dengan mendeteksi dini gejala timbulnya penyakit agar mencegah dampak kesehatan semakin memburuk.

Adapun menurut Kepala Tata Usaha UPTD Puskesmas Kapoila, Asnining, pihaknya punya pelaksanaan program pemeriksaan kesehatan di desa secara rutin sebulan sekali melalui posyandu. Kegiatan itu mencakup pelayanan pemeriksaan anak-balita dan ibu hamil serta kalangan lansia.

Dia juga menyampaikan Puskesmas telah berupaya mendekatkan pelayanan terhadap warga dengan menempatkan petugas kesehatan di masing-masing desa. Program tersebut terselenggara lewat jalinan kerja sama antar pemerintah desa.

Namun begitu, Asnining menyebut pelaksanaan pelayanan di tempat masih menemui sejumlah kendala utamanya perihal ketersediaan gedung pusat pelayanan dan kekurangan alat perlengkapan dan bahan seperti obat-obatan.

Kendala lain, kata dia, berkenaan biaya untuk penggajian petugas kesehatan di desa yang bersumber dari porsi keuangan dana desa dan diterima dalam tiga bulan sekali. Para petugas tak jarang mengadukan masalah keterlambatan pembayaran.

“Biasa terlambat mereka punya gaji. Itu yang jadi masalah terlambat karena tunggu dana desa keluar,” katanya, sebagaimana dicatat Walhi Sultra.

Masalah ketersediaan anggaran juga menghambat keefektifan kinerja pegawai kesehatan untuk dikerahkan dalam menjalankan tugas pelayanan di luar Puskesmas. Tenaga kesehatan di Puskesmas Kapoila total berjumlah 62 pegawai, terdiri 40 ASN dan 22 pegawai harian lepas alias PHL.

Nakes berstatus PHL hanya terikat administrasi keanggotaan, namun tidak dengan ketentuan biaya penggajian. Mereka mendapatkan honor sesuai waktu kehadiran dari insentif yang disalurkan BPJS.

SHARE