Krisis Iklim Datangkan Malapetaka Pada Siklus Air Bumi, Studi
Penulis : Kennial Laia
Krisis Iklim
Sabtu, 11 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Krisis iklim “mendatangkan malapetaka” pada siklus air di planet bumi, dengan banjir besar dan kekeringan yang melumpuhkan yang berdampak pada miliaran orang, demikian temuan sebuah laporan.
Air adalah sumber daya alam yang paling penting bagi manusia, namun pemanasan global mengubah cara air bergerak di bumi. Analisis bencana air pada 2024, yang merupakan tahun terpanas dalam sejarah, menemukan bahwa bencana tersebut telah menewaskan sedikitnya 8.700 orang, menyebabkan 40 juta orang mengungsi dari rumah mereka dan menyebabkan kerusakan ekonomi lebih dari $550 miliar.
Menurut laporan tersebut, yang bertajuk 2024 Global Water Monitor Report, total curah hujan harian maksimum yang memecahkan rekor tercatat di 35 wilayah sungai di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Asia Selatan, Cekungan Gangga Brahmaputra mencapai total curah hujan harian yang belum pernah terjadi sebelumnya, begitu pula Cekungan Sumatra dan cekungan terdekat di Indonesia. Di Afrika Barat, Cekungan Niger mengalami curah hujan satu hari tertinggi yang pernah diamati. Di Eropa, Pantai Baltik Barat serta Inggris dan Wales mengalami curah hujan ekstrem. Beberapa wilayah Arktik juga mencatat puncak curah hujan harian yang signifikan.
Meningkatnya suhu, yang disebabkan oleh terus menerusnya pembakaran bahan bakar fosil, mengganggu siklus air dalam berbagai cara, menurut laporan tersebut. Udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air, sehingga menyebabkan hujan lebih deras. Laut yang lebih hangat memberikan lebih banyak energi untuk badai dan topan, sehingga meningkatkan kekuatan destruktifnya. Pemanasan global juga dapat meningkatkan kekeringan dengan menyebabkan lebih banyak penguapan dari tanah, serta perubahan pola curah hujan.
Banjir bandang yang mematikan melanda Nepal dan Brasil pada 2024, sementara banjir sungai menyebabkan kehancuran di Eropa tengah, Tiongkok, dan Bangladesh. Topan Super Yagi, yang melanda Asia Tenggara pada September lalu, diperparah oleh krisis iklim, seperti halnya Badai Boris yang melanda Eropa pada bulan yang sama.
Kekeringan juga menyebabkan kerusakan besar, dengan produksi tanaman di Afrika bagian selatan berkurang separuhnya, menyebabkan lebih dari 30 juta orang menghadapi kekurangan pangan. Para petani juga terpaksa memusnahkan ternak mereka karena padang rumput mereka mengering, dan menurunnya produksi bendungan pembangkit listrik tenaga air menyebabkan pemadaman listrik yang meluas.
“Pada 2024, Bumi mengalami tahun terpanas yang pernah tercatat dan sistem air di seluruh dunia menanggung beban terbesarnya, sehingga mendatangkan malapetaka pada siklus air,” kata pemimpin laporan tersebut, Prof Albert van Dijk, Senin, 6 Januari 2025.
Ia mengatakan 2024 merupakan tahun yang ekstrem. “Ini adalah bagian dari tren banjir yang semakin parah, kekeringan yang berkepanjangan, dan kondisi ekstrem yang memecahkan rekor.” Laporan tersebut memperingatkan bahaya yang lebih besar pada 2025 karena emisi karbon terus meningkat.
Laporan Monitor Air Global 2024 dibuat oleh tim peneliti internasional dari universitas-universitas di Australia, Arab Saudi, Tiongkok, Jerman, dan negara lain. Tim tersebut menggunakan data dari ribuan stasiun bumi dan satelit yang mengorbit bumi untuk menilai variabel air penting seperti curah hujan, kelembaban tanah, aliran sungai, dan banjir.
Mereka menemukan rekor curah hujan semakin sering dipecahkan. Misalnya, rekor curah hujan bulanan tertinggi terjadi 27% lebih sering pada tahun 2024 dibandingkan pada tahun 2000 dan rekor curah hujan harian terjadi 52% lebih sering. Rekor terendah ditetapkan 38% lebih sering. “Jadi kita melihat hal-hal ekstrem yang lebih buruk di kedua sisi,” kata Van Dijk.
Banjir sungai yang menghancurkan pangan terjadi di Tiongkok selatan, Spanyol, Bangladesh, serta Kota Porto Alegre, Brasil. “Hujan lebat juga menyebabkan banjir bandang yang meluas di Afghanistan dan Pakistan, menewaskan lebih dari 1.000 orang,” kata Van Dijk. Banjir juga menyebabkan 1,5 juta orang mengungsi.
Di Amazon, kekeringan melanda. “Kebakaran hutan yang disebabkan oleh cuaca panas dan kering telah membakar lebih dari 52.000 km persegi pada bulan September saja, sehingga melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca,” kata Van Dijk. “Dari kekeringan bersejarah hingga banjir besar, peristiwa ekstrem ini berdampak pada kehidupan, mata pencaharian, dan seluruh ekosistem.”
Para peneliti mengatakan prakiraan iklim musiman untuk tahun 2025 dan kondisi saat ini menunjukkan bahwa kekeringan dapat memburuk di Amerika Selatan bagian utara, Afrika bagian selatan, dan sebagian Asia. Wilayah yang lebih basah seperti Sahel dan Eropa mungkin menghadapi risiko banjir yang lebih tinggi.
“Kita perlu bersiap dan beradaptasi terhadap kejadian ekstrem yang lebih parah,” kata Van Dijk. “Hal ini berarti pertahanan banjir yang lebih kuat, pengembangan produksi pangan dan pasokan air yang lebih tahan terhadap kekeringan, dan sistem peringatan dini yang lebih baik. Air adalah sumber daya kita yang paling penting, dan kondisi ekstremnya – baik banjir maupun kekeringan – merupakan salah satu ancaman terbesar yang kita hadapi.”
SHARE