Catatan Jatam Malut: 2024, Tahun Pilu Maluku Utara

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 30 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tahun 2024 menjadi salah satu tahun paling memilukan bagi Maluku Utara (Malut), terutama warga yang hidup di wilayah lingkar tambang. Demikian menurut Simpul Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara (Malut).

Selain terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari cengkeraman negara – korporasi, menurut Jatam Malut, desa-desa tempat mereka hidup tak luput dari dampak aktivitas ekstraktif. Mulai dari banjir, kerusakan sungai, pesisir, hingga lautan yang kemudian memengaruhi kualitas hidup sehari-hari.

Simpul Jatam Malut menyebut persoalan di Malut ini belakangan melebar pada kasus tindak pidana korupsi di sektor sumber daya alam. Sejumlah pejabat, politikus, hingga pengusaha tambang ikut terseret. Sederet peristiwa krusial itu kemudian ditutup dengan basa-basi pemilihan kepala daerah yang beberapa di antaranya memiliki kepentingan langsung atas industri ekstraktif.

Kelimpahan sumber daya alam berupa nikel, emas, bijih besi, pasir besi, batu gamping, hingga panas bumi (geotermal) yang terdapat hampir di sekujur tubuh Pulau Halmahera, menjelma menjadi kutukan karena adanya kelindan kepentingan oleh penguasa, baik di level daerah maupun pusat.

banjir di desa Lelilef Weibulen, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara pada 21 Juli 2024. Foto: Mubaliq Tomagola

“Atas nama pertumbuhan ekonomi, para pejabat cum pebisnis mengeksploitasi dan meraup cuan sebanyak–banyaknya. Lalu pergi meninggalkan kubangan krisis yang tak terpulihkan,” kata Simpul Jatam Malut dalam Catatan Tahun 2024 dan Proyeksi 2025, yang dirilis 20 Desember 2024.

Selain Halmahera, sejumlah pulau-pulau kecil di Malut juga tak luput jadi korban tambang. Sebut saja seperti Pulau Pakal, Gee, dan Mabuli di Halmahera Timur. Berlanjut ke Pulau Gebe dan Fau di Halmahera Tengah, Pulau Obi dan Mala-Mala di Halmahera Selatan. Kemudian Pulau Mangoli di Kepulauan Sula, hingga Pulau Taliabu. Beberapa pulau di antaranya sudah sekarat, sedangkan yang lainnya terus diobrak-abrik.

Perusakan terhadap pulau-pulau itu dipaksakan oleh pengurus negara untuk melayani kepentingan segelintir orang. Saat ini saja, seluruh daratan Malut dibebani 127 izin usaha pertambangan (IUP), dengan total luas konsesi 655.581,43 hektare, dan 12 titik smelter.

“Kebijakan gelap mata ini kemudian mendorong percepatan krisis sosial-ekologis, yang sama artinya dengan mengundang petaka,” ujar Simpul Jatam Malut.

Memasuki 2025, roda Pemerintahan Indonesia dikendalikan oleh Prabowo-Gibran yang berada dalam gerbong Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Gerbong politik super gemuk yang nyaris tak menyisakan oposisi ini, kata Jatam, mengkonfirmasi sebuah situasi yang lebih memilukan dari rangkaian peristiwa sepanjang 2024.

“Sebab, nyaris semua partai politik bergabung. Bisa dipastikan, satu-satunya oposisi saat ini hanya kekuatan rakyat,” kata Jatam.

Sementara itu, hampir semua kandidat yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota diusung oleh partai-partai politik yang berafiliasi langsung dengan KIM Plus. Artinya, mereka akan bertindak sebagai operator di tingkat daerah yang nantinya melayani agenda nasional.

“Satu di antaranya adalah melanjutkan hilirisasi nikel, dalang dari semua krisis ruang hidup warga,” ujar Simpul Jatam Malut.

Pusaran korupsi SDA

Kekuasaan Abdul Gani Kasuba (AGK) pada periode kedua tak berakhir mulus. Di penghujung jabatannya, politikus PDIP itu ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta. Penangkapan itu terkait dengan tindak pidana korupsi yang mengarah pada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan nilai sekitar Rp100 miliar.

Rasuah bekas Gubernur Malut dua periode itu ikut menyeret sejumlah pihak. Mulai dari birokrat negara, aktor tambang, hingga politikus jelmaan makelar tambang. Belakangan, tulis Simpul Jatam Malut, disebut nama anak dan menantu Joko Widodo, yaitu Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, yang pada akhirnya nama ini kembali tenggelam dalam sidang-sidang selanjutnya.

Simpul Jatam Malut melihat kasus rasuah yang dijalankan oleh AGK dengan melibatkan pejabat paling elit di negara ini beserta gerbong para pebisnis tambang, merupakan praktik perdagangan politik dan kekuasaan dalam bentuk klientelisme (patronisme) yang paling ketara.

Di tangan para elite inilah, politik dan kekuasaan menjadi serupa komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan paling maksimal dari pengerukan sumber daya alam besar-besaran. Di pengujung jabatan di periode pertama, tepatnya pada 2018, AGK mengobral banyak izin tambang. Saat kembali mencalonkan diri dalam pilkada 2019, ia terpilih.

“Belakangan terbukti bahwa AGK bertindak koruptif dengan memanfaatkan kuasa sebagai gubernur,” kata Simpul Jatam Malut.

Bencana nikel

Aktivitas tambang nikel yang melibatkan land clearing telah membuat tutupan hutan berkurang secara drastis. Di Halmahera Tengah, misalnya, operasi tambang telah mendorong laju kehilangan tutupan hutan di wilayah itu. Global Forest Watch mencatat, sejak 2001 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektare (kha) atau sekitar 27.900 hektare tutupan pohon, yang setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan pelepasan 22.4 Mt emisi CO₂e.

Sementara itu, khusus pada bukaan lahan tambang milik PT Weda Bay Nickel, salah satu perusahaan pemegang konsesi nikel terbesar di atas Pulau Halmahera, tercatat sejak 2011 hingga 2024, kehilangan tutupan hutan sudah mencapai 6.474,46 hektare. Sedangkan untuk seluruh Halmahera Tengah, luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 hektare.

Kehilangan tutupan hutan telah menjadi faktor pemicu utama datangnya bencana banjir bandang yang terus menghajar wilayah Halmahera Tengah. Tercatat sepanjang 2024, banjir di wilayah Teluk Weda sudah terjadi sebanyak lima kali.

Banjir terparah pada 21-24 Agustus 2024. Air setinggi 1-3 meter menenggelamkan sejumlah desa di Halmahera Tengah yang membuat sekitar 1.670 warga dipaksa mengungsi. Desa-desa yang lumpuh akibat banjir meliputi Desa Lelilef Woebulen, Lukulamo, serta wilayah Transmigran Kobe yang mencakup Desa Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Kecamatan Weda Tengah.

“Desa-desa yang dihajar banjir itu merupakan desa yang dikepung oleh industri tambang nikel, dua di antaranya PT Weda Bay Nickel dan kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), raksasa pengolahan nikel yang beroperasi sejak 2018,” ujar Simpul Jatam Malut.

Selain di Teluk Weda, kondisi serupa terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Dua kali tanggul milik Harita Nickel diduga jebol, mengakibatkan air disertai lumpur pekat menyapu pemukiman warga Desa Kawasi.

Bencana ekologis itu membuat warga panik hingga pada akhirnya terpaksa mengungsi ke rumah tetangga, yang berada di dataran tinggi. Di perkampungan yang berada di dataran rendah, ketinggian air mencapai satu meter.

Selain itu, pendudukan hutan di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah oleh korporasi nikel telah membuat ruang hidup suku Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa terhimpit. O'Hongana Manyawa adalah suku yang dalam corak kehidupan mereka masih menerapkan cara hidup nomaden dan sudah hidup beratus-ratus tahun di dalam hutan belantara Pulau Halmahera. Dengan demikian, bagi mereka hutan merupakan rumah: tempat mereka tinggal, mencari makan, berburu hewan, tempat tumbuh, sampai beranak-pinak.

“Namun sayangnya, kehidupan mereka terus terusik dengan operasi tambang nikel yang didatangkan pengurus negara yang kini mengancam keberlanjutan hidup mereka,” tulis Simpul Jatam Malut.

Komplek hilirisasi nikel PT IWIP yang berbatasan dengan Desa Lelilef Sawai, Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Tengah: Auriga Nusantara.

Perlawanan warga

Warga Malut sebenarnya tidak berdiam diri terhadap situasi kritis yang mereka hadapi akibat tambang ini. Simpul Jatam Malut mencatat perlawanan warga terjadi di setidaknya 10 daerah di Malut sepanjang 2024.

Warga Desa Sagea dan Kiya misalnya, sepanjang Agustus hingga September melakukan beberapa kali aksi penolakan aktivitas pertambangan, dan upaya perlindungan kawasan karst. Kemudian di Desa Lokulamo, Halmahera Tengah, pada September lalu warga menggelar aksi menuntut PT IWIP dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas bencana banjir yang melanda wilayah desanya.

Di desa lainnya, yakni di Desa Pekaulang, Halmahera Timur, seorang warga melakukan aksi menanam kembali pohon kelapa yang digusur PT Sambaki Tambang Sentosa. Aksi yang dilakukan pada Juni itu merupakan wujud sikap perlawanannya terhadap perusahaan yang telah membabat kebunnya seluas 4 hektare yang sudah ditanami 12 ribu ubi kayu dan 1.000 batang sereh.

Pada Juni lalu, di Desa Kawasi, sekitar 40 orang warga melakukan protes di area konsesi Harita Group di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan. Warga membentangkan spanduk dan menghadang kendaraan pengangkut ore nikel, serta meminta aktivitas penambangan dihentikan. Protes tersebut lantaran Harita Group ditengarai melakukan penyerobotan lahan milik warga.

Warga Desa Kou, Kepulauan Sula, pada Agustus lalu, melakukan aksi protes terhadap 10 izin usaha pertambangan bijih besi yang bercokol di Pulau Mangoli. Warga menuntut izin perusahaan tambang itu dicabut pemerintah, sebab kehadiran perusahaan mengancam kebun-kebun warga.

Proyeksi bencana akibat politik elektoral di Malut pada 2025

Simpul Jatam Malut menilai terpilihnya Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Malut periode 2025-2030 berpotensi membawa dampak buruk bagi provinsi ini. Sebab Sherly Tjoanda diketahui sebagai pengusaha. Jejak gurita bisnisnya bergerak di multi sektor. Mulai dari perhotelan, kontraktor atau jasa konstruksi, dan sektor industri ekstraktif.

Berkaitan dengan industri ekstraktif, penelusuran Simpul Jatam Malut menemukan setidaknya ada enam industri berbasis lahan yang terhubung langsung dengan Sherly, dengan rata-rata penguasaan saham mayoritas. Adapun perusahaan tersebut, yakni PT Indonesia Mas Mulia, PT Amazing Tabara, PT Bela Sarana Permai, PT Karya Wijaya, PT Bela Kencana, dan PT Bela Berkat Anugerah.

Perusahaan-perusahaan itu memiliki rekam jejak yang terbilang buruk. Contohnya PT Indonesia Mas Mulia ditengarai telah merampas dan merusak area perkebunan yang menjadi lahan produksi bagi warga di Desa Yaba. Lahan warga itu seluas 101 hektare yang sudah ditanami kelapa. Perusahaan juga ditengarai merusak Sungai Lele yang dipakai warga Yaba dalam memenuhi kehidupan domestik

Yang lainnya, PT Amazing Tabara, pernah ditolak warga di Desa Sambiki, Aer Mangga, dan Anggai, Kecamatan Pulau Obi, Halmahera Selatan. Warga khawatir operasi perusahaan tambang emas dengan luas izin usaha pertambangan (IUP) sebesar 4.655 hektare itu berdampak buruk pada pemukiman, pemakaman umum, sekolah, perkebunan, bahkan hutan mangrove yang masuk kawasan lindungi.

Berikutnya, PT Bela Kencana, juga pernah ditolak kehadirannya oleh warga Desa Soligi. Warga khawatir lahan kebun yang sudah ditanami cengkeh dan pala sebagai komoditas yang menjadi sumber produksi akan rusak, serta dampaknya lainnya yang ditimbulkan seiring dengan operasi tambang.

Jatam Malut desak KPK

Terhadap kasus korupsi yang menjerat terpidana Abdul Gani Kasuba, khususnya yang menjurus pada rasuah sumber daya alam, Simpul Jatam Malut berpendapat, KPK seharusnya memanggil Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu untuk dimintai keterangan sekaligus mengklarifikasi nama mereka yang dikaitkan dengan dengan Blok Medan.

“Kami mendesak KPK untuk terus mendalami aktor-aktor lainnya di luar tujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. KPK seharusnya terus memburu seluruh pihak yang terlibat tanpa terkecuali,” kata Simpul Jatam Malut.

Simpul Jatam Malut menganggap menjamurnya izin tambang pada sekujur tubuh kepulauan Malut, telah mendalangi sejumlah bencana sosial-ekologis yang tak terelakkan. Dengan demikian pengurus negara perlu mengevaluasi seluruh izin tambang sekaligus moratorium perizinan tambang di Malut.

“Selain itu terhadap wilayah yang telah mencapai kondisi krisis, kami mendesak untuk segera dilakukan pemulihan,” ujar Simpul Jatam

Mengenai terpilihnya Sherly Tjoanda sebagai Gubernur Malut dengan latar sebagai pebisnis ekstraktif, serta penunjukan Bahlil Lahadalia yang menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dengan fokus lebih banyak mengurus sektor energi, agaknya menunjukkan pengurus negara tak benar-benar serius menghentikan laju kerusakan dan krisis ekologis yang dihadapi Malut.

“Dengan ambisi pemerintahan Prabowo Subianto yang menggebu-gebu untuk mengejar nilai tambah komoditas nikel, pada 2025 mendatang, Malut (dikhawatirkan) akan mengalami kerusakan yang lebih memilukan dibandingkan 2024 dengan eskalasi bencana yang lebih merusak,” kata Simpul Jatam Malut.

SHARE