Hore.., Kata Hutan, Setelah Korsel Potong Subsidi Biomassa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 26 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana pengurangan subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa oleh Pemerintah Korea Selatan (Korsel), disambut positif masyarakat sipil pemerhati energi dan lingkungan, termasuk di Indonesia. Kebijakan Pemerintah Korsel ini diharapkan bakal mengurangi penebangan hutan alam, baik untuk produksi pelet kayu (wood pellet) maupun untuk pembangunan kebun kayu energi, di negara-negara pengekspor.

“Perubahan ini langkah besar yang patut diapresiasi. Pemotongan subsidi berpotensi mengurangi keuntungan korporasi besar seperti Indika Nature, Malinau Hijau Lestari dan Biomassa Jaya Abadi untuk membalak hutan dan mengekspor kayu ke Korsel,” ujar Amalya Reza, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia, 20 Desember 2024.

Amalya menguraikan, energi biomassa kayu, yang memanfaatkan kayu untuk dibakar sebagai sumber listrik, masih dianggap sebagai energi terbarukan oleh Pemerintahan Korea Selatan. Ia dapat dibakar dalam pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), atau dioplos (co-firing) sebagai campuran batu bara di PLTU.

Sumber biomassa, khususnya kayu, mencakup 76% dari bauran bioenergi Korsel saat ini. Bioenergi sendiri menyumbang 27% dari porsi bauran energi terbarukan Korsel.

Seorang pekerja memanen batang kayu untuk produksi pelet kayu di Gorontalo. Dok. Forest Watch Indonesia

Hampir seluruh dari sumber biomassa ini diimpor Korea Selatan dari negara-negara berkembang seperti Vietnam dan Indonesia. Dampak eksploitasi kayu yang ditimbulkan oleh aktivitas ini, termasuk deforestasi, banjir, dan penggusuran masyarakat adat, telah ramai mendapat kecaman internasional.

“Korsel memotong subsidi biomassa dengan alasan deforestasi, namun ironisnya Indonesia yang menjadi korban deforestasi malah masih gencar mendorong subsidi. Kita harus menyingkirkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk eksploitasi biomassa kayu dalam RUU EBT. Prabowo juga harus mengevaluasi Asta Cita yang berencana mendorong eksploitasi biomassa kayu untuk kebutuhan energi,” uja Amalya.

Di Indonesia, Gorontalo merupakan salah satu daerah terdampak ekspor biomassa ke Korsel yang telah berujung pada rencana deforestasi 282.100 hektare hutan. Ekspor ini dilakukan oleh PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) yang sepanjang 2020-2024 telah mengekspor 267.115,96 ton pelet kayu ke Korea Selatan dan Jepang.

Hal ini akan mengancam Bentang Alam Popayato-Paguat yang merupakan area konservasi tinggi sekaligus habitat berbagai spesies endemik seperti tarsius, anoa, dan rangkong. Konsesi ini juga berada di wilayah rawan bencana dan wilayah perlindungan air, yang akan memperparah risiko banjir dan kekeringan.

Pergeseran kebijakan Korsel ini berpotensi berdampak pada pasar ekspor biomassa kayu Asia. Semua Renewable Energy Certificate (REC) untuk fasilitas biomassa baru akan diakhiri. Insentif untuk pembangkit milik negara yang telah beroperasi akan dikurangi bertahap hingga 2027, sementara insentif pembangkit swasta akan dikurangi secara bertahap dalam 15 tahun ke depan. Trend Asia menilai bahwa hal ini menjadi preseden untuk perubahan perspektif, menantang status pembakaran kayu sebagai metode transisi energi yang valid.

Forest Watch Indonesia (FWI) juga melihat kebijakan ini merupakan langkah baik dari Korsel untuk menghentikan perusakan hutan. Sebab seperti diuraikan di atas, Korsel merupakan salah satu pengimpor wood pellet dari Indonesia. Menurut data FWI, jika kebijakan biomassa terus didukung dengan kebijakan pendanaan, ada 4,65 juta hektare hutan alam Indonesia yang diproyeksikan rusak.

“Lebih dari 80% ekspor biomassa kayu dari Indonesia berasal dari perusakan dan penggundulan hutan, bukan dari rehabilitasi. Sudah seharusnya importir seperti Jepang dan Korea Selatan bertanggung jawab dan mempertimbangkan deforestasi hutan tropis yang berlangsung,” ujar Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI.

Terpisah, Direktur Tambang dan Energi, Auriga Nusantara, Ibrahim Fahmi, mengatakan, Pemerintah Indonesia seharusnya mengambil langkah diplomasi yang lebih cerdas dengan menghentikan program hutan tanaman energi yang merusak hutan atau dengan memperbaiki, dan juga mengevaluasi tata kelolanya.

Pemerintah Indonesia, lanjut Fahmi, seharusnya menyadari kegiatan ekspor chip kayu untuk pembangkit biomasa akan mengancam hutan alam dan tidak berdampak pada pengurangan emisi, bahkan sebaliknya. Penggunaan chip kayu untuk co-firing juga adalah solusi palsu dan akal-akalan untuk melanggengkan pembangkit batu bara, padahal tidak berdampak pada pengurangan emisi.

“Mereka (Korsel) menghormati dampaknya terhadap hutan dan komitmen perubahan iklim juga menghormati komitmen global terhadap rantai pasok produk impor dan berdampak pada kerusakan hutan,” ujar Fahmi, 18 Desember 2024.

“Selain pengurangan, juga pelarangan wood pellet dari pembukaan hutan alam. Karena konsesi HTE seharusnya belum berproduksi (wood pellet),” imbuh Fahmi.

Sebelumnya, pada 18 Desember lalu, Pemerintah Korsel mengumumkan pengurangan subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa. Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan (Korsel) berinisiatif melakukan reformasi kebijakan ini sebagai respons atas kritik domestik dan internasional terhadap dampak pembakaran biomassa terhadap lingkungan, krisis iklim, dan ketergantungan besar Korsel terhadap kayu impor.

Pemerintah Korsel berniat untuk menurunkan Kredit Energi Terbarukan (REC-Renewable Energy Certificate) yang secara timpang memprioritaskan energi biomassa ketimbang energi surya atau angin, dan secara artifisial membuat harga energi kayu menjadi murah.

SHARE