Korsel Kurangi Subsidi Energi Biomassa, Jepang Kapan?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 20 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Korea Selatan mengumumkan reformasi besar-besaran atas dukungan pemerintah terhadap energi biomassa, dengan mengurangi subsidi secara bertahap untuk sebagian besar kategori biomassa. Sebagai kebijakan terbesar yang pernah ada di Asia, reformasi ini siap untuk mengurangi pertumbuhan industri biomassa yang cepat dan sering kali tidak terkendali di kawasan ini.

Inisiatif bersama Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan Korea, dan Kementerian Lingkungan Hidup yang berjudul "Rencana untuk Meningkatkan Struktur Pasar Bahan Bakar dan Energi Biomassa" ini bertujuan untuk menjawab kritik domestik dan internasional terhadap biomassa terkait dengan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Rencana tersebut menyusul meningkatnya kekhawatiran sepanjang 2024 mengenai dampak iklim dari energi biomassa dan ketergantungannya yang besar pada impor.

Perubahan ini diperkirakan akan membawa dampak di seluruh Asia, terutama di negara-negara dengan industri biomassa yang sedang berkembang seperti Vietnam dan Indonesia. Sebagian besar ekspor wood pellet dari Asia Tenggara ditujukan ke Korea Selatan dan Jepang.

Sementara Korea Selatan mendapat 71% impor wood pellet dari Asia Tenggara, Jepang berada di jalur yang tepat untuk menjadi importir wood pellet terbesar di dunia pada 2030. Sebagian besar permintaan dari kedua negara tersebut dipenuhi oleh Vietnam, yang merupakan produsen wood pellet terbesar kedua di dunia.

Transhipment kapal Indonesia ke kapal asing di perairan Gorontalo. Kapal ini memuat wood pellet untuk diekspor ke Korea Selatan dan Jepang. Foto: Koalisi Masyarakat Sipil #SaveGorontalo.

Sementara itu, Indonesia telah mewajibkan penggunaan biomassa sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh negeri, dan hal ini membuat lebih dari 10 juta hektare hutan terancam. Oleh karena itu, pembatasan subsidi untuk biomassa impor oleh Korea Selatan merupakan langkah signifikan untuk mengurangi perannya dalam 'mengimpor deforestasi’—yang berpotensi menjadi preseden bagi kawasan ini.

Namun, masih ada kekhawatiran bahwa mempertahankan pembobotan Renewable Energy Certificates (REC) yang tinggi untuk residu kehutanan domestik dapat menggeser risiko deforestasi ke dalam tanpa mengurangi kapasitas biomassa secara keseluruhan. Analisis data pemerintah menunjukkan residu ini dipanen melalui penebangan hutan yang merusak sebanyak 87%.

Kritik juga merujuk pada lambatnya jadwal penghentian penggunaan pembangkit listrik tenaga biomassa swasta, dengan alasan bahwa beberapa fasilitas akan tetap menguntungkan hingga 2040-an. Para ilmuwan menekankan urgensi pengurangan emisi yang mendalam dan cepat di semua sektor, termasuk energi biomassa.

Pemimpin Bidang Hutan dan Tata Guna Lahan di Solutions for Our Climate (SFOC), Hansae Song, menyebut keputusan Korea Selatan untuk mengurangi dukungan terhadap jenis bahan bakar yang paling berbahaya—bahan bakar biomassa yang diimpor dan pembakaran batu bara—menandakan bahwa para pejabat publik tidak dapat lagi mengabaikan biaya ekonomi dan lingkungan. Industri biomassa telah terbukti tidak layak secara finansial, membakar subsidi pemerintah, dan hanya menyisakan karbon dioksida dan hutan gundul.

“Meskipun reformasi Kementerian Energi merupakan koreksi yang sudah lama tertunda, reformasi ini merupakan langkah ke arah yang benar. Meratakan hutan hujan di Asia Tenggara untuk bahan bakar pembangkit listrik di Asia Timur dengan cepat kehilangan pijakan,” ujar Hansae Song, Rabu (18/12/2024).

Namun, lanjut Hansae, pergeseran ke arah eksploitasi hutan domestik menunjukkan bagaimana sekelompok kecil kepentingan industri terus memberikan pengaruh yang tidak proporsional, menyandera alam. Pemberian jaminan dukungan terbarukan secara de facto kepada pabrik biomassa swasta hingga 15 tahun ke depan memastikan bahwa jutaan ton kayu akan tetap dibakar setiap tahunnya, sehingga mendorong krisis iklim semakin mendekati titik kritis yang tidak dapat dipulihkan

“Kelemahan-kelemahan ini tidak akan luput dari perhatian. Oposisi publik akan terus menantang ketergantungan Asia yang berlebihan terhadap biomassa, menyelamatkan transisi energi dari solusi iklim yang salah ini,” ucapnya.

Mengurangi ketergantungan impor pembangkit listrik tenaga biomassa

Dalam rilisnya, MOTIE menguraikan, biomassa adalah konversi sumber daya hayati menjadi energi, dan sejak diperkenalkannya Standar Portofolio Terbarukan (RPS) pada tahun 2012, biomassa telah menjadi pengganti yang efektif untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Pada tahun 2023, 2,7 GW fasilitas telah beroperasi, menjadikannya sumber energi terbarukan terbesar kedua, yang menyumbang 20 persen dari pembangkit listrik terbarukan.

Dengan bertambahnya kapasitas pembangkit listrik, pasar bahan bakar juga tumbuh. Pada 2023, konsumsi biomassa berbasis kayu diperkirakan akan mencapai 7,4 juta ton, meningkat sekitar 50 kali lipat dibandingkan dengan 2012. Secara khusus, 3,4 juta ton pelet kayu yang diproduksi dari kayu murni diimpor, 98% di antaranya diimpor dari Vietnam, Rusia, dan Indonesia. Nilai impor tahunan adalah sekitar 700 miliar won.

Seiring dengan meluasnya pasar, berbagai masalah muncul. Biaya penyelesaian RPS untuk biomassa telah meningkat menjadi sekitar 900 milyar won per tahun, dan daya saing biomassa domestik masih belum mencukupi dibandingkan dengan impor.

Karena efek subsidi harga dari REC, ada juga masalah persaingan antara bahan baku untuk pembangkit listrik dan bahan daur ulang. Selain itu, kritik tentang deforestasi dan emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga biomassa terus meningkat.

Sejak 2023, Pemerintah Korea Selatan telah melakukan diskusi mendalam mengenai tugas untuk meningkatkan sistem untuk mengaktifkan penggunaan hutan domestik. Untuk mendiagnosa secara akurat dan memperbaiki isu-isu kompleks yang melibatkan kepentingan berbagai industri seperti industri pembangkit listrik, industri papan kayu lapis, dan industri pembuatan pelet, pemerintah melakukan analisis data yang terperinci, pengumpulan pendapat yang luas, dan diskusi kebijakan antar kementerian.

MOTIE menjelaskan, pihaknya telah melakukan 27 wawancara dan pertemuan dengan para pemangku kepentingan dan menganalisis data empiris dari pasar yang relevan seperti pasar listrik, pasar REC, dan pasar kayu. Setelah itu, tujuh rapat koordinasi diadakan antara kementerian terkait untuk menghasilkan rencana perbaikan, dan rencana tersebut difinalisasi setelah mengumpulkan pendapat dari para ahli dalam rapat sub-komite Komite Tannok.

Beberapa rencana perbaikan tersebut adalah MOTIE akan menetapkan prioritas dan cakupan penggunaan biomassa hutan yang tidak terpakai untuk memaksimalkan nilai tambah kayu, serta memperkuat pengelolaan dan pengawasan kegiatan ilegal.

“MOTIE akan mengurangi jumlah dukungan kebijakan energi terbarukan untuk listrik yang dihasilkan dari biomassa,” tulis MOTIE.

Lebih lanjut MOTIE menjelaskan, fasilitas pembangkit listrik biomassa berbasis kayu yang baru tidak akan diberikan REC, sehingga membatasi masuknya fasilitas tersebut ke pasar (bioenergi lain seperti biogas, bahan bakar padat organik, lindi hitam, dan lain-lain akan menerima pembobotan REC yang ada saat ini).

Selain itu, pembobotan REC akan disesuaikan dengan nilai saat ini secara bertahap untuk fasilitas yang sudah mulai beroperasi secara komersial. Namun, penyesuaian ini terbatas pada pelet dan serpihan kayu yang diproduksi dari kayu murni.

SHARE