Demi Tiga Tungku Kehidupan, Sahkan RUU Masyarakat Adat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Sabtu, 07 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pasca-Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan Rencana Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Program Manager Working Group Indigenous Peoples' and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII), Cindy Julianty, mengatakan tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi masyarakat adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat. Pelibatan masyarakat adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global juga sangat penting.
“Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah masyarakat adat. Database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi,” ujar Cindy, dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang digelar di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Jakarta, Rabu (4/12/2024).
Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa, Bimantara Adjie Wardhana, menambahkan, masyarakat adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif.
“Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional, Teo Reffelsen, proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) mengabaikan partisipasi bermakna.
“Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo.
Ia mengingatkan, Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait masyarakat adat, namun hingga kini belum terealisasi. Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat dinomor-diakan.
“Tidak heran kita lihat situasi masyarakat adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” ucapnya.
Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), mengungkapkan, Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan di antaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat.
“Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, di mana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya, dengan sesama manusia, serta alam,” katanya.
“Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” imbuh Rukmini.
Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah masyarakat adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka.
“Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal masyarakat adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ujarnya.
Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan, pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat.
“RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.
Kelompok masyarakat sipil ini sama-sama bersepakat, pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
SHARE