PLTU Ombilin Diminta Disuntik Mati Karena Jadi Biang ISPA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Jumat, 15 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil menilai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin, di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat (Sumbar), layak ditutup. Sebab selain membawa dampak kesehatan warga sekitar, PLTU tersebut juga diduga melakukan pelanggaran.

Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, mengatakan pelanggaran berulang yang dilakukan oleh PLTU Ombilin yang menimbulkan kerusakan dan dampak negatif bagi penghidupan masyarakat sudah seharusnya menjadi penegasan kuat untuk segera menyuntik mati PLTU tersebut. Mengabaikan nilai kerusakan yang ditimbulkan demi bisnis semata tidak dapat ditoleransi lagi.

“Selain itu, PLTU tua seperti Ombilin dan Suralaya akan menjadi batu sandungan bagi upaya pencapaian Indonesia mengurangi emisi dan mengatasi dampak krisis iklim yang sudah di depan mata,” kata Indri, dalam sebuah rilis, Senin (11/11/2024).

Menurut hasil riset kelompok masyarakat sipil, data dari dua kali pemeriksaan kesehatan terhadap anak-anak SD 19 Sijantang Koto, pada Desember 2016-Januari 2017, dengan kesimpulan pada Januari menunjukkan lebih dari 50 murid kelas III dan IV, mengalami gangguan paru. Dari jumlah itu, sebanyak 34 (76%) murid mengalami obstruksi ringan, dan 16 (24%) murid lainnya mengalami paru bronchitis kronis dan TB paru.

Tampak dari ketinggian PLTU Ombilin di Kota Sawahlunto. Foto: Trend Asia.

Dari pemeriksaan itu juga ditemukan adanya hubungan penurunan fungsi paru dan kelainan pada foto toraks anak dengan jarak tempat tinggalnya ke PLTU, yang berada di bawah 1 km. Hal ini juga terjadi pada kondisi murid yang keluar rumah tanpa memakai masker.

Pada periode Desember 2017 masyarakat di sekitar PLTU melakukan pengecekan kesehatan terhadap 53 orang murid kelas IV dan V dengan hasil 40 orang anak dalam kondisi fisik yang normal, 10 orang anak mengalami kondisi fisik abnormal. Analisis hasil foto toraks anak-anak SD tersebut terungkap bahwa 66% mereka sudah mengalami gangguan seperti bronchitis kronis dan TB paru. Kegiatan pemeriksaan kesehatan yang ini dilakukan oleh dr. Ardianof, SpP dan dibantu oleh petugas kesehatan pengecekan kesehatan PLTU Ombilin bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Sijantang Koto adalah salah satu desa di Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto. Selama beberapa tahun terakhir, menurut laporan Kota Sawahlunto dalam angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), di antara 10 penyakit yang paling banyak di setiap Puskesmas di Kota Sawahlunto adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama di Kecamatan Talawi.

Berdasarkan pemantauan kualitas udara yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Greenpeace diduga terjadi kerusakan pada cerobong filter PLTU sehingga mengakibatkan pelepasan PM 2,5 di atas baku mutu pada 17-21 Juni 2019.

Itu bukan satu-satunya kejadian. Menurut hasil pemantauan LBH Padang, pencemaran udara dari cerobong emisi PLTU ini juga terjadi setidak-tidaknya pada Februari 2019, 17-19 Juli 2023, November 2019, 6 November 2022, 4 Mei 2023, dan 4 Juli 2023. 

Penumpukan abu sisa pembakaran PLTU Ombilin hingga bertebaran ke permukiman masyarakat Desa Sijantang Koto juga masih terjadi hingga November 2019. Ada pula polusi abu dari truk pengangkut batu bara dan abu batu bara saat proses keluar masuk PLTU Ombilin.

Sementara itu, kondisi start up PLTU Ombilin selama 2024 menimbulkan bunyi bising sampai ke rumah warga. Itu terjadi sepanjang 2024 sebanyak 3 kali, salah satunya pada 16 Mei 2024 sore.

“Ada 2 hal hal penting yang harus diingat oleh Kementerian (Kementerian Lingkungan Hidup) dalam hal penegakan hukum yaitu manusia dan lingkungan yang ada di Sijantang Koto. Ketika pemerintah diam saat ada pencemaran dan tidak melakukan tindakan tegas, tentu manusia dan alam akan merasakan pencemaran, semakin lama akan semakin buruk,” kata Alfi Syukri, dari LBH Padang.

Syukri melanjutkan, negara seharusnya bertanggung jawab untuk bertindak tegas dalam hal pengelolaan lingkungan dan memaksa pengelolaan lingkungan melakukan pemulihan. Kalau pencemar tidak sanggup mengelolanya, libatkanlah pihak ketiga. Negara bertanggung jawab atas hak kesehatan manusia dan lingkungan hidup, tidak ada yang seharga dengan sebuah kesehatan manusia dan lingkungan hidup yang nyaman dari pencemaran.

Pada 2017, KLHK menjatuhkan sanksi atas pelanggaran berat yang dilakukan PLTU Ombilin. PLTU itu dijatuhi sanksi atas kontaminasi abu batu bara (bottom ash) di sejumlah areal. Sanksi juga diberikan karena rusaknya cerobong emisi pembangkit yang mengeluarkan abu batu bara atas (fly ash). Pada 2017, FABA (fly ash bottom ash) dikategorikan sebagai limbah beracun berbahaya (B3).

Pada 20 Juni 2024, LBH Padang selaku penggugat mendaftarkan gugatan di PTUN JAKARTA atas tindakan KLHK yang tidak melakukan tindak lanjut atas sanksi yang diberikan kepada PLTU OMbilin. Sanksi tersebut menimbulkan ketidakpastian terutama tentang dilaksanakannya sanksi atau tidak oleh PLTU Ombilin.

Baru sekurang-kurangnya 5 bulan sejak gugatan LBH Padang disidangkan, PLN yang merupakan pengelola PLTU Ombilin secara cepat kilat melakukan pemulihan kontaminasi yang ada dalam SK Sanksi KLHK. Prinsip transparansi tidak berjalan dalam rangkaian Proses Sanksi tersebut, sulit untuk diakses untuk Publik dan Masyarakat Sipil.

Pada sidang dengan agenda mendengarkan saksi ahli dari penggugat pada 31 Oktober 2024, LBH Padang menghadirkan Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. Ada tiga hal yang terungkap dalam fakta persidangan dari saksi Ahli Prof. Andri. Yang pertama, sanksi yang diberikan oleh KLHK tidak sesuai dengan konsep hukum administrasi paksaan pemerintah. Seharusnya setelah 180 hari sanksi dijatuhkan, KLHK memiliki tiga pilihan yakni menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan dengan biaya dari pencemar, membekukan atau mencabut izin lingkungan, dan memberi denda keterlambatan.

Kemudian yang kedua, seharusnya KLHK memberikan sanksi berdasarkan karakteristik pelanggaran, misalnya dalam pelanggaran tentang kontaminasi, maka pendekatannya adalah sesuai dengan standar pemulihan. Namun yang dilakukan oleh KLHK kepada PLTU Ombilin justru memberikan 7 sanksi dalam 1 surat keputusan. Hal ini mengakibatkan pemberian sanksi KLHK terhadap PLTU penuh dengan ketidakpastian, rancu, dan multi-tafsir. Yang ketiga, proses penerapan sanksi hingga pemulihan harus transparan karena adanya laporan warga menandakan bahwa masalah ini adalah masalah publik.

Masyarakat sipil beranggapan, setelah pemberian sanksi, seharusnya KLHK melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi, tapi yang terjadi KLHK tidak melakukan pengawasan. Pelaksanaan sanksi dari PLTU Ombilin seharusnya memiliki dokumen tercatat karena ada prosedur yang wajib dipenuhi, sehingga ada rekam jejak pemulihannya. Apalagi ketika suatu lokasi terkontaminasi, maka dokumen itu harus berbasiskan hasil laboratorium, sehingga ada justifikasi barometer pemulihan.

SHARE