Sudah Gaharu, ke Dugong Pula
Penulis : Firda Puri, PAPUA
Satwa
Kamis, 24 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tri Kurnia Goram tak dapat lagi tinggal diam melihat hutan ditebang, burung dipukat, dan ikan ditangkap dengan semena-mena di kampung halamannya, Raja Ampat, Papua Barat. Maka, ia menggulung lengan baju untuk menghentikan kerusakan lingkungannya. Waktu itu, 16 tahun silam, dengan dibantu oleh tokoh adat, tokoh agama, dan warga, ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Nazaret Papua Barat (YNPB).
Awalnya, kegiatan YNPB berfokus pada perlindungan burung yang ada di Waigeo, dengan bantuan pendanaan dari lembaga donor Jerman dan Belanda. Waigeo—kadang juga disebut Amberi atau Waigiu—adalah pulau terbesar dari empat pulau utama Kepulauan Raja Ampat. Tiga lainnya ialah Pulau Misool, Salawati, dan Batanta.
Kegiatan YNPB kemudian meluas ke aksi reboisasi hutan yang rusak di Waigeo. Tanaman yang dipilih bukan sembarangan, tapi pohon gaharu. Pohon tropis ini kondang di dunia karena hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan, buat wewangian hingga obat. Harga per kilo kayunya bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung kualitasnya.
Dari Waigeo, YNPB membidik Misool Utara, sebuah distrik di Kabupaten Raja Ampat. Di sana banyak masyarakat adat yang ingin melindungi duyung atau dugong (Dugong Dugon) dari perburuan dan kepunahan. “Bersama masyarakat adat di sana, kami mulai menjaga agar dugong tak diburu, tak ditangkap lagi. Ini artinya mereka mau menjaga pelestarian dugong,” kata Tri, akhir September 2024.
Pada 2015, dengan bantuan dana kegiatan dari sejumlah lembaga donor, YNPB makin menggiatkan konservasi dugong. “Kami mulai mendampingi masyarakat mulai 2015. (Waktu itu) mulai ada deklarasi bahwa dugong tak boleh lagi ditangkap dan harus dilestarikan. Semacam sumpah bahwa di lokasi itu tidak boleh tangkap (dugong) lagi,” kata dia.
The International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut dugong, mamalia laut anggota Sirenia (sapi laut), berstatus rentan punah (vulnerable to extinction). Hewan ini dilindungi negara melalui PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Satwa dan Tumbuhan. Dugong banyak diburu karena semua bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan: dari kulit, daging dan lemak, tulang, gigi, gading, hingga isi perutnya.
Pada 2016-2017, tim YNPB bekerja sama dengan organisasi nirlaba lainnya juga melakukan survei dugong. Ada pula patroli laut untuk menjaga dugong dari perburuan. Lalu, pada 2018, YNPB mendapatkan dana Blue Abadi Fund (BAF) dari USAID Kolektif dengan administratornya Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Dengan dana siklus pertama ini, upaya pelestarian tak hanya menyasar dugong, namun juga biota laut lainnya. Besaran nilai bantuan disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan.
BAF adalah program dana perwalian jangka panjang guna menjamin kelestarian ekosistem di wilayah Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) dan mendukung implementasi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi. Dana disalurkan kepada LSM lokal.
Melalui hibah BAF siklus pertama ini, YNPB mengawal terbentuknya Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Adat di Misool bagian Utara dengan luas lebih kurang 300 ribu hektare. Bersama YNPB, seperti disampaikan YNPB dalam Laporan Akhir Program periode April 2019 - April 2020, dalam kegiatan ini ada pula Conservation International Indonesia (CII), The Nature Conservancy (TNC), BLUD UPTD KKP Raja Ampat, Flora Fauna International (FFI), dan Universitas Papua (UNIPA).
“Dari awalnya hanya tiga kampung yang sepakat deklarasi kawasan konservasi, berkembang menjadi sembilan kampung. Akhirnya kami sepakat deklarasi KKP Adat bersama juga dengan tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah,” kata Tri. Sembilan kampung di dua distrik itu meliputi Kampung Folley, Audam, Limalas Barat, Limalas Timur di Distrik Misool Timur dan Kampung Atkari, Solal, Salafen, Waigama, Aduwey di Distrik Misool Utara.
Pengelolaan kawasan konservasi itu kemudian diserahkan kepada pihak adat. Untuk menjaga kawasan, YNPB membentuk tim patroli jaga laut yang beranggotakan masyarakat adat setempat. “Selain itu kami juga berupaya mendorong kesadaran masyarakat melalui Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk anak sekolah SD sampai SMA, lalu juga (sosialisasi) di gereja,” dia melanjutkan.
Pendanaan BAF berlanjut ke siklus kedua. Pada siklus kedua ini, YNPB menjadi salah satu dari 20 lembaga non-profit lokal di Papua yang menerima dana siklus kedua BAF senilai total Rp 25,2 miliar. LSM lainnya di antaranya Yayasan Raja Ampat Sea Centre, Yayasan Penyu Papua (YPP), dan Yayasan Misool Baseftin (YMB).
Pada tahap ini, YNPB bersama mitra melakukan survei Marine Rate. Hasilnya menunjukkan ada banyak potensi ikan dan biota laut lainnya di wilayah konservasi. Bahkan ada biota laut endemik atau jenis flora dan fauna yang unik karena beradaptasi terhadap habitatnya.
“Survei potensi dilakukan di Misool bagian utara. Misool bagian utara meliputi sembilan kampung. Kenapa Misool bagian utara? Itu sebenarnya karena di sana ada dua distrik, Distrik Misool Timur dan Misool Utara, tapi letak daerah konservasi ini di bagian utara Pulau Misool, jadi bukan distrik,” kata Tri.
Selain itu, mengutip laporan tahunan KEHATI 2020, dana siklus kedua YNPB senilai Rp 2,92 miliar digunakan untuk penyiapan instrumen dan demonstrasi pengelolaan KKP atau Marine Protected Area (MPA) Misool bagian utara. YNPB juga mendapat dana di luar siklus reguler (off cycle) sebesar Rp 1,53 miliar, juga untuk pengembangan KKP bagian utara Misool.
Periode 2023-2024, YNPB mendapat dana BAF tahap keempat. Fokusnya melanjutkan berbagai upaya yang sudah berjalan, ditambah dengan fokus PLH dan pelatihan guru demi meningkatkan pemahaman soal pelestarian alam serta lingkungan.
“Kami juga membuat buku cerita anak-anak.Ddi dalamnya ada salah satu materi perlindungan penyu. Buku ini kami terjemahkan ke dalam bahasa Matbat, bahasa ibu suku Matbat yang merupakan penduduk asli di Misool,” ujar Tri.
Tak Selalu Mulus di Misool
Perjuangan Tri dan kawan-kawan di YNPB tak selalu berjalan mulus. Mereka juga menghadapi sejumlah tantangan, khususnya di Misool Utara. Selain kendala cuaca, kerap ditemui oknum-oknum yang kontrakonservasi. Mereka ini memanen hasil laut memakai kompresor, jaring, dan bom ikan yang jelas-jelas ilegal.
Bahkan, pada Mei 2024, ditemukan kapal besar yang menangkap ikan dengan menggunakan bom di dekat zona inti kawasan konservasi. Oknum-oknumnya, kata Tri, sudah ditangkap dan diadili. “Misool bagian utara sudah ditetapkan Kepmen menjadi kawasan konservasi di November 2023. Jadi saat mereka [oknum] melakukan pengeboman pada Mei, kami punya dasar hukum kuat. Dan ini yang terbesar, karena mereka bawa kapal penampung, jadi perahu ada 4 perahu pengeboman, kapal penampung satu, itu kapasitas 10 ton dan kami tangkap dan dalam waktu tiga bulan sudah mendapat vonis,” katanya.
Tri menambahkan, penangkapan ikan dengan bom dan kompresor kebanyakan nelayannya bukan penduduk Misool. “Itu [mereka] dari luar. Kalau orang Misool mereka tidak bom, mereka mancing biasanya atau mereka panah. Jaring juga mereka sudah dilarang,” kata Tri.
Namun, bukan berarti tak ada resistensi dari warga setempat. “Penolakan pasti ada dari beberapa oknum. Ya mungkin resisten di awal karena mereka tidak suka dan tidak paham. Waktu itu kami kan bikin papanisasi, terus mereka cabut, dan tenggelamkan. Tapi akhirnya sekarang mereka sudah mulai sadar, terbuka dan mengerti. Tidak separah dulu,” sambungnya.
Tahun depan, YNPB akan tetap melakukan pendampingan kepada masyarakat. Yang baru, YNPB melirik potensi pariwisata yang ada di Misool. “Penting bahwa masyarakat di Misool ini juga perlu memperoleh manfaat ekonomi, tidak sekadar menjaga alamnya saja,” kata Tri.
“Tahun depan [tetap melakukan pendampingan] karena sekarang kan pengawasan sudah di bawah pemerintah. Kami akan melakukan pendampingan kepada masyarakat adat, bagaimana menjaga kawasan dan mengembangkan potensi pariwisata atau pengolahan hasil laut atau hutan,” ujar Tri.
Demikianlah, Misool memang punya potensi dalam pariwisata, seperti banyak daerah lainnya di Papua Barat. Statistik Wisatawan Nusantara 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah wisatawan nusantara di Papua Barat sebanyak 574.945 perjalanan. Angkanya masih jauh dari Bali, 18,41 juta, namun Papua Barat menjadi destinasi wisatawan nusantara dengan durasi perjalanan terlama, sekitar 17,10 malam, diikuti Maluku 14,53 malam.
“Paling tidak ada ekonomi alternatif lain. Masyarakat sendiri punya kerinduan bagaimana potensi wisata yang ada di mereka yang bagus untuk dikelola supaya menjadi tempat wisata,” kata Tri lagi. “Kalau saya, saya ingin masyarakat tetap menjaga alamnya... karena jangan sampai rusak. Ketika alam rusak, kita bukan meninggalkan mata air untuk anak cucu, tapi meninggalkan air mata.”
SHARE