Lem Jadi Cara Baru Katak Menghindari Predator
Penulis : Kennial Laia
Spesies
Minggu, 22 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dalam dongeng “The Frog Prince” karya Grimm bersaudara, kita familiar dengan cerita tuan putri yang mencium seekor katak, yang di luar dugaan berubah menjadi seorang pangeran.
Namun di dunia nyata, mencium katak bisa berbahaya. Banyak spesies katak yang memproduksi racun di kulitnya untuk pertahanan diri. Efeknya pun beragam, mulai dari mual ringan hingga kematian, sehingga mencium katak sangat tidak dianjurkan. Kini, selain racun, katak menambah pertahanan dirinya dari predator dengan cara yang tidak biasa. Caranya? Menutup mulut predator dengan lem.
Perekat biologis
Manusia umumnya menggunakan bahan sintetis untuk membuat sesuatu menjadi lengket. Tetapi katak, seperti organisme penghasil lem lainnya, menghasilkan apa yang disebut "perekat biologis". Bahan-bahan yang disekresikan secara alami ini tersebar luas di kalangan hewan, dan seringkali penting untuk kelangsungan hidup mereka.
Sebagai contoh, kerang dan teritip menghasilkan sejenis lem yang secara permanen merekatkan mereka ke permukaan bawah air yang mereka sebut sebagai rumah. Sementara hewan laut lainnya, seperti bintang laut, menggunakan jenis lem lain yang bersifat sementara untuk membantu mereka bergerak.
Di darat, contoh paling terkenal adalah lem laba-laba, yang biasa digunakan untuk membuat sutra untuk menangkap mangsa. Namun penelitian tersebut, yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, fokus pada vertebrata darat seperti tokek dan katak pohon tertentu. Menurut para peneliti, hewan-hewan ini adalah spesimen paling lengket.
Kedua hewan ini memiliki contoh adhesi “kering” dan “basah”. Artinya, tokek menempel pada permukaan tanpa menghasilkan apa pun yang menyerupai lem, sedangkan bantalan jari kaki katak pohon ditutupi lapisan tipis lendir, atau getah.
Mekanisme pertahanan yang aneh
Dari pengobatan tradisional dan ritual perdukunan hingga cerita rakyat dan mitos, katak dan kodok mempunyai arti penting secara budaya di seluruh dunia. Kelenjar racun katak sangat menonjol karena dapat digunakan untuk membuat senjata, pengobatan, atau bahkan halusinogen.
Sampai saat ini, penelitian tentang pertahanan kulit amfibi berfokus pada molekul yang berfungsi sebagai racun. Namun, selain sebagai pemasok racun, sejumlah kecil spesies (termasuk amfibi terbesar di dunia, salamander raksasa Tiongkok) telah mengembangkan strategi bertahan hidup yang lebih tidak jelas (dan lebih lengket) yaitu lem.
Di dalam penelitian tersebut, para ilmuwan meneliti spesies katak tomat madagaskar (Dyscophus guineti). Saat stres, kulit spesies ini mengeluarkan cairan kental yang menjadi sangat lengket dalam hitungan detik. Dari sudut pandang katak, stres ini biasanya berupa serangan predator. Kecepatan perubahan cairan kental—lendir yang lengket—menjadi lem membuat predator hampir tidak mungkin menelan katak tersebut, kemungkinan karena gangguan yang disebabkan oleh mulut dan wajahnya yang dilapisi lem.
“Meskipun taktik ini mungkin terdengar kasar dan tidak elegan, ini merupakan mekanisme pertahanan yang efektif karena memberikan waktu bagi katak untuk melarikan diri,” tulis para peneliti dikutip dari Phys.org, 18 September 2024.
Jejak evolusi lem pada katak
Meskipun lem merupakan ciri langka pada katak, lem telah berevolusi beberapa kali pada spesies yang tersebar di berbagai benua. Para peneliti pun mengeksplorasi asal-usul strategi bertahan hidup ini, dan mengapa sebagian katak tidak mengembangkannya.
Para peneliti mengidentifikasi bahan-bahan yang menyebabkan lengketnya lem katak, dengan menggunakan teknologi mulai dari batu bata Lego berteknologi rendah hingga mikroskop berteknologi tinggi yang dapat melakukan pembesaran pada skala nano.
“Yang mengejutkan, apa yang kami temukan adalah bahwa bahan dasar yang dibutuhkan untuk membuat lem ini ada pada hampir semua hewan, termasuk manusia, namun hanya amfibi yang telah mengembangkan perangkat yang diperlukan untuk mengubahnya menjadi lem,” tulis para peneliti.
“Bahkan pada hewan amfibi, hanya beberapa spesies tertentu—yang hidup berjauhan di Madagaskar, Brasil, dan Australia—yang benar-benar mengembangkan kemampuan ini,” tulis mereka.
Para peneliti mengatakan katak hujan mozambik–yang terpisah dari katak tomat melalui evolusi sekitar 100 juta tahun– menggunakan bahan dasar dan peralatan yang sama untuk membuat sekresi perekatnya sendiri.
SHARE