Peninggalan Hilirisasi Jokowi di Weda Bay: Menghilangnya Nelayan

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Rabu, 18 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kapal kayu berukuran 4 gross ton (GT) teronggok sekitar 100 meter dari garis pantai Desa Lelilef Weibulen, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Tubuh kapal itu miring karena dasarnya kandas di tengah air surut. Mesinnya dicopot, tanda lama tak beroperasi. 

Abdullah Hambar sesekali melihat kapal miliknya itu sembari mengaso di rumahnya yang terletak di pinggir pantai. Lemari pendingin dan tumpukan boks stirofoam serta jaring dan berbagai tali digantung di salah satu sudut dapur. Saat itu bulan puasa, ia menunggu salah seorang anaknya mencari ikan dengan perahu ketinting ke tengah laut, sekitar 5 km dari rumah, sekadar untuk lauk berbuka buat keluarga.

Baginya percuma cari ikan dengan kapal besar untuk dijual kembali karena kondisi perairan Lelilef di Teluk Weda sudah tak bagus lagi. Perairan itu sudah kotor, ikan tak mudah dicari dan kalaupun dapat warga khawatir membeli karena menduga ikan sudah terpapar pencemaran. Hasilnya adalah rugi.

“Sudah tidak bisa jadi nelayan lagi di sini. Kalau cari ikan, jauh sana ke tengah. Itu pun susah dapatnya karena itu ikan besar, bukan ikan karang,” kata dia. 

Bangkai kapal kayu yang sudah tak terpakai di perairan Lelilef dekat PT IWIP, Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Mubaliq Tomagola/ Walhi

Kapal milik Abdullah Hambar yang menganggur di pantai perairan Lelilef Weibulen, Teluk Weda, Halmahe

Desa Lelilef Weibulen berdiri sederet dengan Kawasan PT Indonesia Weda Bay Nickel Industrial Park (IWIP). Sepanjang pesisir Lelilef merupakan kawasan pencarian ikan nelayan dan warga desa di Desa Lelilef Weibulen dan Lelilef Sawai. Namun aktivitas hilirisasi nikel yang digadang-gadang Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengubah wajah perairan itu. 

PT IWIP merupakan patungan tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP oleh Tsingshan (40 persen) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Sedangkan Zhenshi dan Huayou, masing-masing menguasai saham 30 persen.

Perusahaan yang berdiri pada 2018 ini menguasai sekitar 5.000 ha kawasan untuk kawasan Industri dan rencana pengembangan hingga 15.000 ha. Komplek industri pengolahan nikel itu memanjang sejauh sekitar 10 km di pesisir.

Analisis pemetaan menunjukkan pengembangan kawasan industri ini menindih kawasan karang yang membentang di pesisir itu. Reklamasi pengembangan kawasan seluas 178 hektare menggunakan slag nikel mengurug sekitar 93 ha kawasan coral. 

Tak ayal jika ikan karang dan coral tempat mereka hidup hilang. Nelayan seperti Abdullah pun merasakan imbasnya, kehilangan mata pencaharian.

Seorang Nelayan di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, tengah membersihkan perahu miliknya.

Dullah, nama sapaan Abdullah Hambar, merupakan nelayan besar di kawasan itu. Ia mulai mencari ikan di Teluk Weda pada tahun 2000, tepatnya di daerah Patani, Halmahera Tengah hingga beralih ke rumahnya sendiri. Sebelumnya ia bekerja pada kapal laut di sekitar Papua.

Saat menjalani profesinya, ia punya dua kapal, salah satunya yang teronggok di pantai itu. Sedangkan satu kapal lagi kini harus dioperasikan kembali di Patani karena kondisi perairan Halmahera yang terus memburuk.

Dullah menceritakan ikan dasar melimpah tak mengenal musim. Para nelayan tinggal mendayung sekitar satu kilometer dan sudah mendapat banyak tangkapan, baik ikan dasar maupun ikan musiman. Sedangkan ia dengan kapal 4 GT nya dalam sehari bisa mendapat 3-4 ton ikan tongkol. 

“Ibu-ibu kalau mendayung cuma di pinggir-pinggir saja, sudah bawa ikan banyak mereka,” kata dia. 

Roman, nelayan dari Desa Lelilef Sawai, mengakui hal yang sama. Ia merupakan nelayan kecil yang hanya memiliki perahu bermesin ketinting. Hilangnya kawasan tangkap nelayan di Lelilef memaksanya memacu mesinnya yang kecil untuk melaut lebih jauh. Itu pun alat tangkap yang ia miliki tak mumpuni. 

“Hitung-hitungannya nggak sepadan karena mesin kecil itu akan cepat rusak kalau harus menempuh 8 mil, butuh lebih banyak minyak, tapi dapatnya sedikit,” ucap dia ketika ditemui di rumahnya.

Roman nelayan Lelilef Sawai, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita

Dulu, kata dia, cukup satu mil perjalanan saja ikan sudah melimpah. Kini dasar laut sudah gelap. Ia yakin tak ada ikan yang layak dimakan di sana. 

Baru pada awal 2023 ia mendapat bantuan mesin dan bodi perahu fiber dari partai politik. Itu pun masih cukup berat karena butuh modal tak sedikit untuk mencari ikan. 

“Minyak, makan, dan rokok itu masih berat untuk ditanggung,” kata dia. 

Man, nama sapaannya, kini menggantungkan penghasilan dari usaha kos-kosan. Sepetak tanah di samping rumahnya ia bangun menjadi kos-kosan bagi para pekerja tambang dan PT IWIP. Bangunan itu lebih besar dari rumahnya sendiri yang juga menampung cucu-cucunya. 

Sesekali, sebagai sambilan, Man menjadi tukang antar bahan belanjaan pekerja kapal tongkang. Mereka bisa berhari-hari menunggu di tengah laut sehingga harus menitip pada nelayan, seperti Man, untuk berbelanja. 

“Saya beri nomor hape, jadi kalau mereka butuh tinggal telepon. Lumayan bisa dapat tambahan,” ucapnya.

Kesulitan mencari ikan ini juga diakui oleh Maksi Goro, nelayan dari Desa Gemaf. Memang kondisi perairan di Gemaf tak separah di Lelilef tetapi ia merasa imbas kerusakan karang sudah dirasakan. Ikan-pun semakin sulit ditemukan. 

Maksi Goro sedang bersantai di depan rumahnya desa Gemaf, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Aryo

Namun beberapa nelayan beranggapan, seberapa sedikitnya pun ikan di Gemaf, paling tidak masih aman untuk dikonsumsi.

“Kadang kalau ketemu orang Lelilef saya teriakin mereka, kenapa cari ikan disini. Ini punya Desa Gemaf. Tapi itu hanya bercanda saja. Tak ada larangan untuk ambil ikan di manapun,” kata dia. 

Kekhawatiran mengkonsumsi ikan perairan Lelilef ini bukan perkara sepele. Riset Walhi Maluku Utara menunjukkan biota laut terpapar logam berat akibat aktivitas hilirisasi dan pertambangan nikel. Hasil pengambilan sampel biota di enam titik kawasan itu menunjukkan hal ini. 

Mereka mengambil sample biota berupa kerang kima (Tridacna sp), ikan kakatua (Scarus niger), baronang (Siganus javus), dan dorabe (Sparus aurata). Sampel kerang kima tersebut menunjukan akumulasi logam berat yang menyebabkan Nekrosis, kematian sel. Sedangkan pada ikan kakatua, barongan dan dorabe, nekrosis memicu kematian sel usus, ginjal, dan hati, insang, dan sel otot.

Nelayan di sebelah barat Desa Lelilef Weibulen, Desa Kobe Pantai, Yosep Burnama, mengaku warga desa sudah tak mau mengkonsumsi ikan yang di dapat di muara Sungai Kobe. Mereka pernah membedah beberapa ikan tangkapan. Hasilnya daging ikan tersebut tak lagi putih segar melainkan berwarna kekuningan.

“Kami sudah tak cari ikan lagi di sana. Bagi saya yang tidak punya mesin cuma bisa ikut saudara jika mereka melaut karena muara Sungai Kobe benar-benar sudah coklat. Apalagi ada buaya di sana, karena keruh mereka tak kelihatan. Ngeri,” ucap dia.

Kerusakan hilir Sungai Kobe akibat pertambangan sangat menghancurkan kawasan muara. Muara Kobe merupakan surga ikan. Maks menceritakan setiap musim ikan, semua nelayan dari berbagai tempat berminggu-minggu memenuhi perairan muara. Setiap muatan kapal mereka penuh mereka menepi dan membuat ikan asap lalu turun lagi melaut.  

“Ikan seperti tak ada habisnya dan itu penuh sekali perahunya. Habis, ambil lagi, begitu seterusnya. Sekarang lihat saja air merah kecoklatan, dapat ikan pun tak ada yang mau makan,” kata dia. 

Penangkapan hiu berjalan halmahera (Hemiscyllium halmahera) untuk penelitian. Foto: Dokumentasi 'Pol

Salah satu spesies khas yang terusir adalah hiu berjalan halmahera (Hemiscyllium halmahera). Spesies ini merupakan kerabat dari tiga hiu berjalan yang ada di Indonesia, yakni hiu berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), hiu berjalan Teluk Cendrawasih (Hemiscyllium galei), dan hiu berjalan teluk triton kaimana (Hemiscyllium henryi)

Riset Pola Sebaran dan Kelimpahan Hiu Berjalan Halmahera di Teluk Weda Maluku Utara, Indonesia, menyebutkan spesies ini memenuhi semua karang di Teluk Weda. Namun menurut penuturan Dullah, ikan ini tentunya tak ada lagi karena merupakan ikan dasar yang ikut terganggu karena pencemaran. 

“Kami menyebutnya hiu bego. Karena dia ketika ditangkap, selama masih di air akan tetap tenang saja. Begitu keluar dari air dia akan berontak,” ucap dia. 

Biasanya nelayan mendapatkannya dengan menyelam pada malam hari dan menangkapnya dengan tangan. 

Komplek hilirisasi nikel PT IWIP yang berbatasan dengan Desa Lelilef Sawai, Teluk Weda, Halmahera Te

Communications Manager PT IWIP, Setya Yudha Indraswara, membantah jika perusahaan melakukan perusakan. Ia menyebutkan perusahaan menjaga kelestarian terumbu karang di kawasan industri dengan membangun 12 stasiun transplantasi karang. 

Perusahaan juga melakukan aktivitas pelestarian ekosistem laut dengan melakukan konservasi, seperti penanaman mangrove dan transplantasi karang. 

“Pertumbuhan karang di setiap stasiun juga terpantau baik,” kata dia melalui jawaban tertulis.

Pemantauan kualitas air juga dilakukan oleh internal perusahaan dan pemantauan tiap semester yang melibatkan laboratorium eksternal yang terakreditasi. Sejauh ini kandungan logam dalam air memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah.

-----------------------------

Artikel ini merupakan Liputan ini kerjasama peliputan program Pasopati Journalist Fellowship 2023 yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.

SHARE