Nikel Indonesia: Made of Kerja Paksa 

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Rabu, 18 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Langkah Amerika Serikat yang memasukkan nikel dari Indonesia ke dalam daftar produk yang dibuat dengan kerja paksa menjadi kabar buruk yang memperlihatkan mirisnya kondisi pekerja di kawasan industri mineral ini. Di saat bersamaan, ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah dan menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dan ketenagakerjaan. 

Berdasarkan laporan Asia Times pada 10 September lalu, Departemen Tenaga Kerja AS telah memasukkan nikel Indonesia ke dalam daftar produk yang dibuat dengan menggunakan kerja paksa. Laporan ini juga dipandang sebagai pukulan telak bagi upaya Indonesia menjadi pemasok utama bahan baterai global oleh perusahaan Barat dan Tiongkok, termasuk untuk kendaraan listrik.  

“Ini jelas negatif bagi Indonesia karena menunjukkan lemahnya pemenuhan hak-hak pekerja. Dan ini adalah fakta sehari-hari di industri nikel di mana situasi kerja buruk seperti masih adanya kecelakaan kerja,” kata Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali, selasa, 17 September 2024. 

Menurut Zakki, kecelakaan kerja tidak hanya terjadi di smelter perusahaan China, tetapi juga Kanada. “Padahal industri nikel digembar-gemborkan sebagai bagian transisi energi. Maka dalam proses transisi ini seharusnya prinsip-prinsip keadilan diterapkan di seluruh mata rantai industri,” kata Zakki. 

Tampak para buruh PT IMIP memadati jalan di sekitar kawasan industri terpadu tersebut. Foto: Esa Setiawan/Trend Asia.

Keputusan Departemen Tenaga Kerja AS ini mengutip pemberitaan media maupun penelitian berbagai LSM yang telah lama menyoroti dugaan pelanggaran hak maupun keselamatan buruh industri nikel, yang berpusat di kepulauan Maluku dan Sulawesi. 

Kawasan industri tempat terjadinya dugaan pelanggaran ini merupakan jantung industri nikel Indonesia, di mana fokus Indonesia berpusat pada penambahan nilai mineral dibandingkan mengekspornya sebagai bahan mentah. 

Riset dari Trend Asia mengungkap, sebanyak 91 pekerja meninggal dalam kecelakaan kerja fatal yang terkait dengan industri penyulingan nikel dalam rentang waktu 2015-2023. Kecelakaan terparah terjadi pada Desember 2023, ketika ledakan smelter menewaskan 21 pekerja, yang terdiri dari 13 warga negara Indonesia dan 8 warga Tiongkok. 

Peneliti Auriga Nusantara, Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan, laporan tersebut seharusnya menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola indsutri nikel di Indonesia. Menurutnya hingga saat ini masih banyak liputan media maupun laporan yang menunjukkan buruknya kondisi buruh yang dipaksa bekerja dengan standar keselamatan yang rendah, hingga menimbulkan korban jiwa. 

“Namun sampai saat ini belum ada satupun langkah dari pemerintah, baik untuk menindak maupun mendesak perusahaan untuk melakukan perbaikan di sisi keselamatan tenaga kerja,” Ki kata Bagus. 

“Jika pemerintah masih abai atas laporan ini, sama saja artinya pemerintah tutup mata atas situasi kerja yang mematikan bagi pekerja industri nikel,” ujarnya. 

Kian sulit masuk rantai pasok

Meskipun tidak memuat konsekuensi hukum dan aturan baku, cap Amerika ini dinilai akan berpengaruh cukup signifikan bagi Indonesia, yang telah lama berupaya untuk melakukan diversifikasi pasar di luar pembeli utamanya, China, seperti ke pasar Amerika maupun Uni Eropa, namun terganjal isu kerusakan lingkungan dan deforestasi. Sebuah laporan tahun ini menyebut, pertambangan dan industri mineral ini telah menghilangkan 5.300 hektare hutan tropis di Halmahera, Maluku Utara. 

Aktivitas salah satu kawasan industri yang beroperasi di Halmahera juga diduga telah menyebabkan pencemaran sungai dan laut, sehingga merugikan masyarakat nelayan yang bergantung pada tangkapan ikan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, Indonesia menghadapi ancaman dikeluarkan dari rantai pasok terutama di kendaraan listrik, industri otomotif, maupun pengolahan lanjutan untuk stainless steel atau aluminium yang memiliki standar lingkungan, sosial, dan tata kelola dan perlindungan ketenagakerjaan yang baik.

“Ini akan membuat Indonesia sulit masuk ke dalam rantai pasok di negara-negara maju atau perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen terkait hal tersebut,” kata Bhima. 

Saat ini sebagian besar nikel Indonesia dikirim ke China dalam bentuk feronikel dan nikel-iron. Namun beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar melakukan pendekatan ke pasar AS dan Uni Eropa, yang masing-masing memiliki standar ketat terkait prinsip lingkungan dan tata kelola yang berkelanjutan. 

“Jika tidak ada pembenahan secara serius, maka Indonesia akan terjebak untuk terus melakukan eksploitasi dan ekspor nikel ke negara pembeli tunggal yaitu China,” kata Bhima. “Hal ini membuat Indonesia tidak memiliki daya tawar, untuk menjual nikel dengan harga lebih baik,” ujarnya. 

Hal ini juga akan berpengaruh pada investor untuk mendirikan pabrik smelter ataupun pengolahan lanjutan bijih nikel untuk baterai kendaraan listrik karena standarisasi di Indonesia belum begitu bagus untuk perlindungan tenaga kerja, menurut Bhima. 

“Selain itu juga ada kekhawatiran kontrak-kontrak yang sudah berjalan bisa diberhentikan di tengah jalan dan industri otomotif atau elektronik mencari alternatif pasokan selain nikel yang diproduksi di Indonesia. 

“Ini ancaman besar bagi kinerja ekspor, dan ancaman devisa, dan juga bagi lapangan kerja. Ini juga akan menyangkut kontrak pembelian bahan baku nikel, dan ini menjadi salah satu risiko paling nyata,” ujar Bhima.  

Momentum perbaikan

Langkah AS tersebut juga dapat menjadi momentum berbenah bagi pemerintah Indonesia. Menurut Zakki, pemerintah bisa langsung mengambil tindakan untuk memperbaiki standar kerja dan tegas memberikan sanksi serta evaluasi menyeluruh jika terjadi sebuah insiden. 

Laporan AS yang keluar menjelang pergantian pemerintahan juga menjadi momentum bagi pemerintahan yang baru. Menurut Ki Bagus, meskipun Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, yang akan dilantik 20 Oktober nanti, telah berkomitmen untuk melanjutkan proyek hilirisasi Presiden Joko Widodo, harus mempertimbangkan situasi termutakhir ini. 

“Pemerintahan yang baru seharusnya tidak abai atas kritik ini, termasuk kritik oleh kelompok masyarakat sipil Indonesia. Seharusnya dengan adanya kritik di sektor ketenagakerjaan ini, pemerintah selain melakukan perbaikan di sektor tersebut, juga mengantisipasi kritik di sektor lainnya di industri nikel dengan melakukan perbaikan-perbaikan,” kata Bagus. 

Sementara itu di sektor lingkungan, Bagus mengatakan: “Banyaknya kejadian bencana alam seperti banjir akibat ekspansi industri nikel seharusnya menjadi titik balik pemerintah untuk melakukan evaluasi dan audit lingkungan di industri nikel. Begitu juga di aspek lainnya, dengan banyaknya laporan minor seperti ini harus disikapi dengan melakukan evaluasi dan audit menyeluruh di industri nikel.”

Masalah yang berlapis, mulai dari lingkungan, konflik agraria dan masyarakat adat, serta ketenagakerjaan memerlukan satuan tugas (satgas) khusus untuk memperbaiki dan mendorong perbaikan, menurut Bhima. Langkah-langkah yang dapat dimulai termasuk membatalkan insentif perpajakan bagi perusahaan yang bermasalah, ataupun pemberhentian izin sementara hingga perusahaan memenuhi standar kerja dan lingkungan yang baik. 

“Kalau tidak, nikel Indonesia akan terus dipandang sebagai beban ketimbang peluang,” kata Bhima. 

Penunjukan posisi strategis seperti kursi menteri di bidang investasi serta energi dan sumber daya mineral juga harus mencerminkan komitmen untuk perbaikan. “Harapannya, ada output untuk menekan kecelakaan kerja, serta merevisi aturan terkait PLTU batu bara dan pengakuan serikat kerja buruh yang independen,” ujarnya. 

Dua pekerja smelter nikel PT ITSS di kawasan IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah, alami luka berat, akibat kecelakaan di tempat kerja.

SHARE