Transisi Energi Dihambat Bank Nasional - Riset
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Senin, 19 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Delapan tahun setelah Indonesia menandatangani Perjanjian Paris, komitmen pemerintah dalam mendorong transisi energi hijau, bersih, dan berkeadilan masih sangat jauh dari harapan. Industri batu bara justru terus menggurita. Penyebabnya adalah karena sejumlah perbankan nasional, termasuk bank milik BUMN, kerap memberikan sokongan finansial yang memperpanjang nafas industri batu bara yang kebanyakan dimiliki oleh orang terkaya di Indonesia.
Demikian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia menyampaikan dalam laporan "Mendanai untuk Menunda: Lembaga Keuangan, Korporasi, dan Individu yang Berpotensi Menghambat Transisi Energi Bersih yang Berkeadilan".
Sokongan itu, menurut laporan ini, diperkuat dengan regulasi maupun tata kelola negara yang masih mengakomodasi kepentingan industri. Karenanya, muncul kesan Pemerintah Indonesia memberikan insentif besar demi mempertahankan ketergantungan atas batu bara.
Menurut laporan ini, selama 2020-2023 perbankan nasional memberikan pendanaan kepada enam perusahaan batu bara besar di Indonesia. Perusahaan tersebut adalah Adaro Energy Indonesia, Bumi Resources, Dian Swastatika Sentosa (DSSA), Bayan Resources, Indika Energy, dan TBS Energi Utama. Posisi pengambil keputusan tertinggi di perusahaan-perusahaan tersebut dipegang oleh kelompok elite kaya dan tokoh-tokoh politik dengan catatan kasus hukum. Total kumulatif kucuran dana untuk keenam perusahaan itu mencapai Rp163 triliun (Rp163.930.132.583.916).
Bank Mandiri merupakan lembaga keuangan yang menduduki peringkat pertama sebagai pemberi dana terbesar untuk industri batu bara. Bank BUMN itu telah menyalurkan sedikitnya Rp66 triliun (Rp66.928.644.252.330) dalam kurun waktu 2020–2023.
Bank Rakyat Indonesia (BRI), juga perbankan BUMN, menduduki peringkat kedua pemberi dana terbesar untuk industri batu bara. Tercatat dalam laporan tahunan keenam perusahaan tersebut, BRI telah menyalurkan dana sebesar Rp23 Triliun (Rp23.416.686.915.210) selama 2020-2023.
“Bank-bank tersebut merupakan bank yang familiar digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyimpan tabungan mereka. Namun, bank-bank itu masih mendanai batu bara yang pada akhirnya semakin memperkaya para taipan di Indonesia. Tak hanya itu, kepercayaan masyarakat kepada bank untuk kebutuhan keuangan sehari-hari mereka, justru ternodai oleh investasi ke energi kotor perusak lingkungan yang dilakukan oleh bank-bank tersebut,” ujar Yassar Aulia dari ICW.
PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA) yang merupakan bagian dari Sinar Mas menjadi perusahaan batu bara penerima total uang terbesar dari pelbagai lembaga keuangan. Perlu diketahui saham PT DSSA dipegang oleh keluarga Widjaja. Pendiri Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja menempati jajaran orang terkaya Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp140 triliun saat ia masih hidup.
DSSA, menurut ICW dan Trend Asia, menerima pinjaman dari 25 lembaga keuangan, termasuk bentuk pinjaman sindikasi, sedikitnya Rp63 triliun (Rp63.458.619.187.570) dalam kurun waktu 2020–2022. Lembaga keuangan nasional yang tercatat ialah Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Permata, Bank Central Asia (BCA), dan Bank Syariah Indonesia.
Secara formal, perbankan nasional seperti Bank Mandiri, memiliki komitmen untuk mengurangi pembiayaan batu bara. Dalam laporan tahunannya, Bank Mandiri menyampaikan tidak akan membiayai proyek yang membahayakan lingkungan.
Meski demikian, Bank Mandiri masih menyalurkan dana untuk industri batu bara, salah satunya untuk pembangkit listrik batu bara khusus industri (PLTU captive) smelter aluminium milik grup Adaro di Kalimantan Utara. PLTU ini akan berkontribusi pada pencemaran udara sebab melepas sekitar 5,2 juta ton CO2 per tahun.
"Terlihat sangat jelas sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo bagaimana ekosistem politik, hukum, maupun ekonomi yang dibangun justru berpihak pada kepentingan industri batu bara semata. Padahal, sudah jelas bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar," kata Yassar.
Sokongan finansial tersebut merupakan bentuk pengingkaran sektor keuangan pada prinsip-prinsip iklim Perjanjian Paris yang memastikan aliran pendanaan konsisten dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan pembangunan yang berketahanan iklim. Hal ini mengindikasikan lemahnya komitmen transisi energi dari perbankan nasional dan pemerintah yang masih memberikan ruang fiskal untuk energi kotor.
"Indonesia harus memiliki komitmen kuat terhadap Perjanjian Paris dengan berhenti mendukung pembiayaan industri batu bara. Upaya ini untuk mendorong perusahaan berhenti melakukan ekspansi proyek dalam bentuk apapun, termasuk PLTU batu bara maupun perizinan pembangunan pembangkit listrik untuk industri (PLTU captive). Perlu upaya serius untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi dan tidak lagi melakukan segala bentuk greenwashing dan climate delay dalam regulasi maupun kebijakan investasi di Indonesia," ujar Zakki Amal, periset Trend Asia.
Perusahaan batu bara kelompok elite dan catatan kasus hukum
Sokongan dana yang mengalir ke perusahaan batu bara kelompok elite Indonesia tak hanya menghambat upaya transisi energi hijau yang bersih dan berkeadilan. Tapi, menimbulkan tanda tanya mengenai keseriusan pemerintah dalam menindak pihak yang berpengaruh secara politik dengan catatan kasus hukum dan berkelindan dengan industri batu bara. Beberapa kasus meliputi penghindaran pajak, saksi untuk kasus korupsi, serta terduga pelanggar HAM berat kasus 1998.
"Kelompok elite atau populasi 1% adalah orang-orang yang menguasai 30% total kekayaan penduduk Indonesia. Mereka juga adalah orang-orang yang bermain di balik industri batu bara. Orang-orang yang menduduki posisi tertinggi di perusahaan dalam laporan ini membawa risiko konflik kepentingan yang dapat memicu pelanggaran hukum akibat statusnya sebagai politically exposed person, ada sekitar 89 individu, maupun karena pernah tercatat dalam Offshore Leaks, ada sekitar 45 individu," ujar Zakki.
“Perusahaan batu bara tidak berkegiatan di dalam ruang hampa atau business as usual. Di Indonesia, mereka memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan-kebijakan negara. Dalam konteks hambatan terhadap coal phase-out, elite dan perusahaan batu bara memengaruhi keputusan politik secara signifikan melalui berbagai cara, salah satunya dengan lobbying,” ujar Meidella Syahni, salah satu penulis laporan "Mendanai untuk Menunda".
"Sebagai anggota ke-40 dari Financial Action Task Force (FATF), pemerintah harus sepenuhnya tunduk terhadap Rekomendasi 12 dan 22 tentang politically exposed persons yang tertuang dalam dokumen panduan FATF. Salah satunya dengan mengimplementasikan regulasi yang meminimalisir resiko dari pemilik manfaat (beneficial ownership) korporasi yang juga merupakan politically exposed person ketika berbisnis dengan perusahaan lain maupun ketika berinteraksi dengan lembaga keuangan," kata Yassar.
SHARE