Polisi Diduga Main Culik Petani Pakel saat Makan Malam
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Rabu, 12 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dugaan kriminalisasi terhadap petani Desa Pakel yang getol menyuarakan perlawanan perampasan lahan pertanian oleh perusahaan perkebunan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kembali terjadi. Muhriyono, petani yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), diculik oleh anggota kepolisian, saat sedang makan malam di rumahnya, di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Minggu (9/6/2024). Ya, Muhriyono diculik, karena surat perintah penangkapannya baru terbit sehari setelah ia diambil.
"Berdasarkan informasi yang kami terima, penangkapan sewenang-wenang tersebut terjadi pada saat Muhriyono sedang makan malam di kediamannya sepulang dari menggarap lahan," kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, Selasa (11/6/2024).
Untuk diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, Walhi Jatim bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, melakukan pendampingan kepada warga Desa Pakel, dalam konflik lahan warga dengan PT Bumisari Maju Sukses (BMS). Koalisi menduga penculikan Muhriyono ini adalah buntut dari konflik agraria yang berkepanjangan tak terselesaikan itu.
Dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/113/VI/RES.1.6/2024/Satreskrim, yang berlaku pada 10 Juni 2024 sampai dengan 11 Juni 2024, disebutkan Muhriyono ditangkap diduga keras melakukan tindak pidana di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang lain atau barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP, yang terjadi di kebun blok D bekas cengkehan Dusun Tamanglugo, Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
Wahyu mewakili Koalisi menjelaskan, berdasarkan informasi yang terhimpun, saat Muhriyono sedang menyantap makan malamnya, tiba-tiba sekelompok orang tidak dikenal (OTK) berjumlah sekitar lima orang merangsek masuk rumah dan sebanyak sepuluh orang lainnya mengepung rumah. Belakangan baru diketahui lima belas OTK tersebut merupakan anggota Polresta Banyuwangi.
Selanjutnya, kata Wahyu, Muhriyono dibawa pergi meninggalkan rumah tanpa alasan kepada pihak keluarga. Karena ketidakjelasan tersebut, RTSP mendatangi dan menuntut Polresta Banyuwangi untuk memberikan informasi terkait keberadaan Muhriyono. Namun Polresta Banyuwangi bergeming dan tidak memberikan informasi apapun.
Informasi keberadaan Muhriyono baru diketahui keesokannya yakni Senin (10/06/2024) dengan status terperiksa sebagai saksi. Pada hari yang sama juga, tim hukum TeKAD GARUDA mendapatkan kabar jika status Muhriyono dinaikkan sebagai tersangka setelah ditangkap paksa.
"Kami menilai tindakan yang dialami oleh Muhriyono merupakan bentuk pelanggaran hak atas prinsip peradilan yang adil (fair trial) dan menyimpang dari kaidah penangkapan yang diatur dalam KUHAP," ujar Wahyu.
Wahyu menjelaskan, tindakan penangkapan Muhriyono yang dilakukan oleh Polresta Banyuwangi, jelas telah dilakukan secara sewenang-wenang, serampangan dan tidak dilakukan secara proporsional hingga telah mengingkari peraturan internal kepolisian. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005.
Pasal 9 UU itu, secara jelas menyebut tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang dan tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Instrumen hukum internasional HAM PBB juga telah menjamin bahwa bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh negara.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni Walhi Jatim, KontraS, YLBHI, LBH Surabaya, Walhi Nasional, TeKAD GARUDA, membuat analisis terkait penangkapan Muhriyono. Isinya, yang pertama, proses penangkapan Muhriyono dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum dan melanggar prinsip HAM karena penangkapan tidak disertai dengan surat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP.
"Selain itu, kami juga melihat dalam penangkapan Muhriyono, prosedur pemanggilan saksi telah dilangkahi bahkan dihilangkan begitu saja," ujar Wahyu.
Yang kedua, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (2), serta Peraturan Kapolri No 07/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 7.
"Ketiga, status Muhriyono hanya sebagai saksi, sehingga kelompok menilai polisi telah melakukan tindakan berlebihan dalam melakukan penangkapan dengan dalih pemanggilan dan pemeriksaan saksi," kata Wahyu.
Soal penyimpangan penangkapan yang dilakukan kepada Muhriyono, Koalisi juga menilai bahwa tindakan tersebut masuk dalam kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances). Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mengatakan, tidak diketahuinya keberadaan Muhriyono oleh pihak keluarga hingga satu hari berselang sejak penangkapan.
"Dan tidak adanya kejelasan tentang motif atau alasan penangkapan yang ditunjukkan oleh anggota kepolisian Polresta Banyuwangi menunjukkan adanya intensi untuk menyangkal keberadaan Muhriyono dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum," ujar Dimas.
Wahyu melanjutkan, Koalisi juga melihat bahwa pemidanaan terhadap Muhriyono telah mencederai hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan hak atas tanah sebagaimana yang telah diperjuangkan selama ini oleh warga dan RTSP. Pemidanaan tersebut Koalisi nilai sebagai suatu bentuk pembungkaman, alih-alih langkah penyelesaian sengketa konflik agraria.
Yang mana hal tersebut juga telah menunjukkan pelanggaran terhadap instrumen hak asasi manusia, salah satunya pada pasal 28A UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
"Sedari awal kasus kriminalisasi bergulir, sengketa lahan antara warga Desa Pakel dengan PT BMS telah lebih dahulu terjadi, sehingga seharusnya penyelesaian sengketa tersebut harus didahului," kata Wahyu.
Sebelum melakukan penuntutan secara pidana, lanjut Wahyu, sengketa itu mestinya diselesaikan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan,
Koalisi, kata Wahyu, beranggapan apa yang dilakukan Muhriyono sejatinya merupakan bentuk-bentuk untuk mendapatkan pemenuhan atas hak yang selama ini diyakininya, yakni hak atas tanah dan keberlanjutan kehidupan keluarganya. Sehingga Koalisi meyakini bahwa Muhriyono sedari awal tidak berhak dituntut secara perdata maupun pidana, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. UU Nomor 6 Tahun 2023.
"Yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil selanjutnya mengeluarkan beberapa desakan. Yang pertama, mendesak Kapolresta Banyuwangi untuk membebaskan Muhriyono dari tahanan dan menghukum anggota polisi yang melakukan penangkapan sewenang-wenang sebagai sebuah bentuk upaya untuk menjaga ketertiban hukum di masyarakat.
Kedua, mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan (Divisi Propam) Markas Besar Polisi Republik Indonesia, untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap tindakan berlebihan yang menyimpang dari aturan hukum yang dilakukan oleh anggota Polresta Banyuwangi sebagai sebuah mekanisme korektif lembaga kepolisian.
Ketiga, mendesak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bertindak proaktif untuk melakukan pengawasan termasuk memanggil dan memeriksa anggota Kepolisian Polresta Banyuwangi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 8 ayat 1).
Dugaan kriminalisasi terhadap Muhriyono ini bukan kali pertama dialami warga Pakel. Sebelumnya tiga petani Pakel lainnya, yakni Suwarno Kepala Dusun Durenan, Untung Kepala Dusun, Taman Glugo dan Mulyadi Kepala Desa Pakel. Mereka bersama para petani Rukun Tani Sumberejo Pakel lainnya selama ini menyuarakan penolakan kerja sama pengelolaan lahan yang ditawarkan perusahaan. Yang mana, lahan yang selama ini digarap warga, seluas sekitar 257,1 hektare, tiba-tiba masuk ke dalam HGU PT BMS.
SHARE