Gajah Sumatra Mati Kena Setrum di Konsesi Ban Michelin
Penulis : Kennial Laia
Konservasi
Selasa, 07 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Lagi-lagi gajah sumatra mati akibat pagar listrik. Pada 2 Mei lalu, warga menemukan satu gajah betina bernama Umi tewas di konsesi sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) karet di kawasan Desa Semambu, Sumay, Tebo, Jambi, karena pagar setrum itu. Jika hal ini tak segera diatasi, hal serupa dapat kembali terjadi.
Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa terancam punah. Namun di alam liar, mereka terus menghadapi ancaman. Menurut penelusuran media oleh Auriga Nusantara, setidaknya terdapat 16 kasus kematian gajah akibat tersetrum listrik selama periode 2014-2023. Sementara itu, untuk tahun ini saja, terjadi tiga kali kematian dengan indikasi penyebab kematian yang sama.
Gajah yang ditemukan mati pada 2 Mei 2024 tersebut berada di kebun garapan warga, di dalam konsesi PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Sebelumnya pada Agustus 2019, satu gajah mati ditemukan di konsesi yang sama dengan penyebab tidak teridentifikasi.
Menurut dokumen AHU online, Kementerian Hukum dan HAM, pemilik manfaat PT LAJ adalah produsen ban terbesar dunia Michelin dan Prajogo Pangestu. LAJ dimiliki Michelin melalui PT Royal Lestari Utama (RLU) yang seluruh sahamnya dibeli Michelin pada Juli 2022.
Belum ada pernyataan resmi dari Michelin. Diketahui raksasa pembuat ban yang bermarkas di Prancis itu memperkenalkan diri sebagai perusahaan yang memiliki pendekatan "semua berkelanjutan".
Wishnu Sukmantoro, ahli satwa dari Forest Wildlife Society mengatakan, kematian gajah akibat tersengat listrik terjadi karena penggunaan pagar listrik (fencing) yang langsung dari sumber daya listrik seperti genset. “Ada juga kasus gajah yang tersengat kabel PLN di Giam Siak beberapa tahun lalu,” katanya.
Peneliti spesies Auriga, Riszki Is Hardianto mengatakan, kematian akibat sengatan listrik ini merupakan buntut dari konflik panjang dan perebutan ruang antara manusia dan gajah. Masyarakat membuka lahan untuk pemukiman dan kebun-ladang, dan perusahaan juga beroperasi di dalam hutan yang menjadi area perlintasan satwa tersebut.
Pagar listrik kemudian dipasang untuk menghalangi gajah masuk ke dalam kebun, ladang, atau konsesi perusahaan. Namun alih-alih menghindari konflik, gajah justru menjadi korban. Padahal spesies ini penting untuk ekosistem, mulai dari menyebarkan biji-biji tanaman ke seluruh area hutan hingga membuka jalan bagi hewan lainnya.
“Pemasangan pagar listrik bertegangan tinggi untuk memitigasi konflik sangat berbahaya dan berpotensi kematian, tidak hanya pada satwa liar tetapi juga manusia,” kata Riszki, Senin, 6 Mei 2024.
Ini karena pemasangan pagar yang dialiri arus listrik seringkali sembrono di lapangan. Banyak pihak menggunakan kabel-kabel yang tidak memadai, seperti jaringan dua arah yang berbahaya, menurut Riszki.
“Seharusnya memakai jaringan satu arah. Jadi kalau tersentuh pun tidak akan ada kasus kematian. Tetapi biayanya sangat mahal. Jika dipasang, maintenance-nya tetap mahal. Tantangannya ada di situ,” kata Riszki.
Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Donal Hutasoit, dalam setahun terakhir pihaknya menemukan puluhan kilometer pagar listrik dibangun mengelilingi kebun-kebun garapan liar dalam konsesi HTI karet. Hal ini menjadi ancaman bagi keselamatan satwa di dalam kawasan. Pagar yang dibangun juga berisiko menimbulkan kematian bagi satwa yang melintas karena tidak sesuai standar.
“Dari hasil pengecekan, ada puluhan kilometer pagar listrik dibangun mengelilingi kebun-kebun sawit garapan warga. Lebih dari 20 kilometer,” kata Kepala BKSDA Donal Hutasoit, dikutip Kompas, Senin, 6 Mei 2024.
Di sisi lain, perambahan dan alih fungsi lahan yang tadinya merupakan area perlintasan gajah juga mendesak satwa liar seperti gajah untuk keluar dari koridornya dan mencari makan ke kebun-kebun warga maupun konsesi perusahaan.
Analisis Auriga pada 2022 menyebut terdapat 4,6 juta hektare habitat gajah di pulau Sumatra. Namun 2 juta hektare berada di konsesi perusahaan, yang tersebar di kebun kayu atau HTI, hak pengusahaan hutan (HPH), tambang, dan perkebunan sawit. Lembaga tersebut menghitung, terdapat 1,3 juta hektare habitat yang hilang dalam kurun waktu 2007-2020.
Pada kasus kematian terbaru ini, lokasi kematian berada pada area konsesi. “Ini jelas bahwa habitat dari gajah sudah beralih fungsi dan hal ini yang menjadi pemicu kejadian konflik dan kematian pada satwa,” kata Riszki.
Perlindungan gajah di dalam konsesi wajib
Peraturan di Indonesia mengatur gajah sumatra sebagai satwa dilindungi. Menurut Riszki status perlindungan ini mengikat di manapun gajah berada, baik di kawasan konservasi, konsesi, maupun area lainnya.
Berdasarkan penelusuran media, setidaknya terdapat empat kasus sengatan listrik yang terjadi di dalam area perusahaan selama 2014-2024. Kasus kematian akibat perburuan juga banyak terjadi. Pada 2015, misalnya, terdapat 15 gajah mati akibat perburuan di Riau, yakni 14 di konsesi raksasa kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Kabupaten Pelalawan dan satu di konsesi HTI PT Arara Abadi (Grup Sinar Mas) di Bengkalis.
Dus, menurut Riszki, perusahaan sawit ataupun bisnis kehutanan yang memperoleh izin konsesi dari pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi satwa liar yang berada di areal kerjanya. Menurut Riszki, hal ini tercantum dalam Surat Edaran Nomor SE.7/PHL/PUPH/HPL.1/10/2022 tentang Perlindungan Satwa Liar Yang Dilindungi di Dalam Areal Kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
Berdasarkan data Auriga, terdapat 42 gajah ditemukan mati di area konsesi perusahaan selama 2014-2023. Diantaranya 25 kematian akibat perburuan, 10 akibat konflik masyarakat, enam kematian alami, dan satu kematian yang tidak teridentifikasi.
“Artinya, kasus kematian gajah pada area perusahaan menunjukkan adanya kemungkinan kelalaian dari perusahaan dalam melakukan upaya untuk penyelamatan gajah sumatra yang menjadi kewajiban hukumnya sebagai pemegang PBPH,” kata Riszki.
“Penggunaan hukum perdata tepat untuk diterapkan guna perusahaan diminta pertanggungjawabannya akan kematian satwa lewat upaya pemulihan dari satwa dan habitatnya yang dirugikan,” ujarnya.
Sementara itu Wishnu mengatakan, kematian gajah tidak disebabkan oleh aktivitas perusahaan. “Ini karena adanya perambahan area konsesi dan masyarakat yang tidak paham membangun fencing yang tidak sesuai standar. Tetapi ini masuk kategori kelalaian pemegang konsesi karena tidak bisa membendung arus perambah ke dalam kawasan,” kata Wishnu.
Kejadian tahunan
Kematian gajah di Indonesia merupakan peristiwa tahunan. Data Auriga Nusantara mencatat, terdapat 150 individu gajah yang mati dengan berbagai penyebab selama rentang waktu 2014-2023.
Angka tersebut tidak termasuk 10 gajah yang diberitakan mati di dua konsesi kebun kayu industri di Riau, yakni RAPP dan PT Arara Abadi. “Sulit ditemukan pemberitaan mengenai detail kematian 10 gajah tersebut,” kata Riszki.
Menurut rekapitulasi data Auriga, selain tahun 2023 yang mencatat nol kematian, setiap tahun selalu ada gajah yang meregang nyawa. Angka tertinggi terjadi pada 2014 (22 kematian), 2015 (20 kematian), dan 2017 (19 kematian). Kasus tersebar ke berbagai provinsi, terutama di Aceh, Riau, Lampung, dan Sumatra Utara.
Sementara itu berdasarkan penyebab kematian, terdapat 69 individu yang mati akibat konflik masyarakat, 55 mati alami, 61 akibat perburuan ilegal, dan enam kematian yang tidak teridentifikasi.
Kematian yang rutin ini tidak lantas menjadikannya normal. Ini harus menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia. Data terakhir pada 2021 menunjukkan penurunan yang drastis, di mana populasi gajah sumatra tersisa sebanyak 924-1.359 individu. Angka ini jauh menurun jika dibandingkan pada 2007, yang mencatat 2.800-4.800 individu.
Pemulihan habitat krusial
Riszki mengatakan pemulihan habitat menjadi tugas utama untuk mengurangi laju kematian gajah di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah harus gencar memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya alam dan isinya, termasuk satwa liar.
“Bila daya dukung habitat dan kebutuhan pakan gajah di area dengan status kawasan apapun ditingkatkan, dengan pemahaman masyarakat, konflik gajah dan manusia dapat terselesaikan, atau setidaknya terhindarkan. Karena kematian gajah akibat tersengat listrik ini diawali dengan kejadian konflik gajah dan manusia,” ujar Riszki.
"Karena itulah pemulihan habitat gajah yang telah terdegradasi sangat penting. Jika tidak, maka gajah akan terus-terusan kembali pada "koridor lamanya" yang justru telah ditempati manusia, dan siklus konflik ini akan terus terjadi," kata Riszki.
Terkait masalah pagar dengan arus listrik, pada umumnya pemerintah dan organisasi masyarakat sipil melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun karena kontrol terhadap perambahan di dalam konsesi sulit dilakukan, selalu ada grup yang lolos dari pembinaan.
"Di LAJ, kita sudah kasih saran berkali-kali perlu ada sosialisasi atau pertemuan untuk membangun aturan bersama penggunaan fencing termasuk pengaturan pola dan letak fencing, karena fencing itu memblok pergerakan gajah di area LAJ terutama di area konservasi satwa liar untuk gajah," kata Wishnu.
SHARE