PLTU se-Sumatra Diminta Pensiun Dini
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
PLTU
Kamis, 14 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Sumatra Terang untuk Energi Bersih (STuEB) kembali menyuarakan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Sumatra. Alasannya, karena operasi PLTU membawa dampak buruk pada kesehatan, ekonomi masyarakat sekitarnya, dan menyebabkan krisis iklim.
Hal tersebut disuarakan dalam sebuah aksi yang digelar di depan Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar) Jumat pekan lalu. Dalam aksinya, STuEB menguraikan berbagai kondisi buruk yang dialami masyarakat sekitar PLTU.
Menurut kelompok itu, kehadiran PLTU di Pulau Sumatra telah menghasilkan dampak serius terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Pencemaran udara, tanah, dan air menjadi konsekuensi yang tidak dapat diabaikan, seiring dengan kelalaian yang terjadi terus-menerus dalam operasional PLTU.
Pemerintah, dalam hal ini dinilai lengah dan tidak responsif terhadap keluhan masyarakat, yang semakin memperparah dampak negatif setiap harinya. Paradoksnya, solusi transisi energi yang diusung tiba-tiba muncul tanpa memberikan solusi nyata atas permasalahan yang ada.
Alfi Syukri, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, mengatakan, PLTU Ombilin di Sumatera Barat (Sumbar), sudah dikenai sanksi administratif No: SK.5550/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2018. Salah satu yang ditekankan terkait sanksi ini adalah memperbaiki cerobong.
"Namun 5 tahun berjalan tidak diketahui progres yang sudah dilakukan. Cerobong identik dengan pencemaran udara ini sejalan dengan data yang didapatkan oleh LBH Padang penyakit ISPA selalu masuk sepuluh penyakit tertinggi dari 2011 sampai 2021," kata Alfi, dalam pernyataan resmi, Senin (11/3/2024).
Tidak hanya itu, Alfi bilang, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan 53 murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) 19 Sijantang--sekolah yang dekat dengan PLTU Ombilin, 66% murid SD itu sudah mengalami gangguan seperti bronchitis kronis dan TB paru sejak 2017. Dari fakta tersebut, Alfi berpendapat, sudah saatnya PLTU Ombilin ditutup.
“Kita saat ini tidak mengetahui keadaan udara yang dihirup oleh masyarakat Sijantang Koto, Kota Sawahlunto bersih atau tidak. Pemerintah tidak membuka data itu sehingga masyarakat tidak tahu harus mencegah dirinya seperti apa agar tidak menghirup udara kotor," katanya.
Zaidun Abdi dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), menyebut, PLTU merupakan penyumbang utama krisis iklim, akibat dampak buruk yang dihasilkan di wilayah pembangkit, seperti pencemaran udara, tanah dan air. Hal tersebut seperti yang terjadi dalam kasus PLTU Nagan Raya, yang menurutnya, memberi dampak negatif pada lingkungan hidup, dan menimbulkan banyak persoalan.
Dampak secara langsung keberadaan PLTU itu, katanya, dirasakan oleh nelayan tradisional, sebab tumpahan batu bara di perairan laut semakin buruk. Tak hanya itu, suhu air bahang PLTU juga dibuang tanpa dilakukan proses pendinginan, sehingga berdampak langsung terhadap tangkapan ikan nelayan tradisional.
Yang memprihatinkan, imbuh Zaidun, tumpahan batu bara yang berulang kali terjadi itu diperparah dengan lemahnya fungsi pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Nagan Raya dan Aceh Barat. Itu membuat PLTU yang berada di mulut tambang batu bara lepas dari tanggung jawab dan kejahatan lingkungan.
“Pencemaran yang dilakukan PLTU Nagan Raya Aceh juga mengancam keberlangsungan hidup biota laut yang berada di pesisir laut Peunaga Cut dan desa lainnya yang terdampak di Nagan raya dan Aceh barat.” kata Zaidun.
PLTU tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat saja. Di Sumatera Utara merasakan penyempitan ruang hidup dan dampak ekonomi. Pengkampanye Srikandi Lestari Aji Surya Abdi mengatakan, terjadinya bencana kemanusiaan yang diduga dilakukan oleh PLTU Pangkalan Susu telah menghilangkan ruang hidup masyarakat di sekitar pembangkit yang mengakibatkan kemiskinan, perbudakan modern hingga kematian.
Data yang dirangkum Srikandi Lestari mencatat ada sekitar 80% nelayan yang mengalami peralihan mata pencaharian karena laut tidak menghasilkan, petani merugi sampai 50%. Data tersebut mencatat, saat ini sudah ada 16 orang meninggal dunia yang diakibatkan oleh perusakan lingkungan yang diduga dilakukan oleh PLTU Pangkalan Susu.
"Jika benar PLTU berdampak seperti itu sudah saatnya dimatikan dan beralih ke energi yang bersih. Tidak ada yang sebanding dengan nyawa manusia, ini persoalan kemanusiaan,” kata Aji Surya.
Direktur Jaringan Masyarakat Peduli Energi Bersih (JMPEB) Lampung, Herry Maryanto, mengatakan kejadian serupa terjadi di Lampung. PLTU Tarahan dan PLTU Sebalang, dalam proses produksinya juga telah berdampak pada masyarakat sekitar PLTU. Terutama masyarakat yang berada di ring 1 PLTU, berupa pencemaran udara dan air.
Herry mengatakan, warga sekitar PLTU terpapar polusi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, dan transportasi angkutan batu bara yang melintasi desa juga mengakibatkan kerusakan jalan.
"Di sisi lain, limbah pembuangan air bahang hasil dari proses pendinginan mesin juga berdampak pada hasil tangkapan ikan dan pencari rumput laut nelayan di sekitar hal ini berdampak pada menurunnya pendapatan mereka,” kata Herry.
Keadaan di Pekanbaru juga tak jauh berbeda. M. Fauzi dari LBH Pekanbaru mengatakan, perjuangan untuk memastikan transisi energi berjalan demokratis, artinya tidak dimonopoli oligarki, belumlah usai. Transisi energi yang adil dan berkelanjutan (lestari), menurutnya, tidak akan meminggirkan atau merampas ruang hidup rakyat, dan tidak memperparah kerusakan lingkungan (krisis iklim).
"Perjuangan belum selesai hingga terwujud transisi energi yg demokratis, adil dan berkelanjutan. Salah satu "jualan" Indonesia untuk transisi energi adalah pensiun dini PLTU batu bara. Kami mendesak pemerintah untuk mempensiunkan 3,7 GW PLTU batu bara untuk menyelamatkan transisi energi yang bergulir,” katanya.
Fauzi menambahkan, transisi energi telah diwacanakan akan dilakukan oleh pemerintah, sesuai dengan kesepakatan Indonesia untuk ikut mencegah krisis iklim, setelah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali. Namun melihat beberapa transisi energi yang telah dilakukan, beragam masalah justru terjadi, mulai dari penyusunan dokumen sampai dengan penerapannya.
Manajer Sekolah Energi Bersih Kanopi Hijau Indonesia, Hosani Ramos Hutapea, beranggapan, transisi energi yang sedang bergulir telah dibajak oleh oligarki. Itu terlihat dari pembiaran atas dampak langsung PLTU batu bara terhadap rakyat di sekitar tapak yang ada di Sumatra.
Alih-alih mematikan 33 unit PLTU dengan kapasitas 3.566 MW yang ada saat ini, dalam RUPTL 2021 - 2030 pemerintah justru merencanakan pembangunan PLTU baru berkapasitas 4000 MW.
“Tuntutan masyarakat di seluruh Sumatra adalah transisi energi yang murni dengan pemensiunan PLTU yang sudah ada dan penolakan pembangunan PLTU baru. Dalam konteks ini, STuEB dan masyarakat setempat bersatu untuk menyerukan transisi energi yang adil, demokratis, dan berkelanjutan,” ujar Hosani
Hosani menuturkan, aktivitas PLTU yang merugikan harus dihentikan, dan langkah-langkah transisi energi yang membawa keadilan dan keberlanjutan harus dimulai. Ia berharap tidak ada lagi masyarakat yang harus menderita akibat aktivitas PLTU di Sumatra.
SHARE